Sunday, July 17, 2016

Menjadi "lebih baik" untuk generasi muda yang "baik"

Rasanya sudah sangat lama Saya tidak menulis di blog kesayangan ini. Dan ternyata memang benar, posting terakhir saya adalah september 2015. Jadi memang sudah sangat lama.

Jujur saja saya sudah sedikit bosan dengan kondisi blog ini yang tak pernah meningkat popularitasnya,  popularitas blog memang menjadi acuan bagi setiap blogger untuk meningkatkan produktifitasnya. Sebagian bahkan menghasilkan uang yang cukup banyak dari aktivitasnya menulisnya di blog. Sementara itu blog ini yang sudah hadir kurang lebih 2 tahun sedikitpun tak pernah memberikan keuntungan materi bagi Saya. Jadi wajar jika perlahan tapi pasti semangat Saya untuk menulis di sini surut dan hampir kering.

Tapi hari ini, semangat itu mulai bersemi kembali, perjalanan Saya menuju kota Tasikmalaya untuk mengurus passpor dan pertemuan saya dengan seorang lelaki setengah baya di kota itu membuat saya kembali ingin berbagi melalui blog ini.

Sebelumnya saya harus bercerita dulu tujuan Saya berangkat ke kota Tasikmalaya ini.  Sebagaimana sahabat ketahui sudah selama dua tahun ini Saya mempersiapkan studi s3 Saya di luar negeri. Study yang ternyata tak semudah seperti yang Saya bayangkan (terlalu panjang untuk diceritakan). Singkat kata dalam keperluan mempersiapkan studi itu saya harus membuat passpor, maka berqngkatlah Saya ke Tasikmalaya tepatnya ke Kantor Imigrasi Kelas II Tasikmalaya.

Berharap terhindar dari kemacetan hari pertama masuk sekolah dan antrian panjang di  lokasi kantor imigrasi maka Sayapun berangkat pagi-pagi buta, tepatnya setengah 6 pagi Saya berangkat dari rumah Saya di pusat kota Garut. Perjalanan sendiri memakan waktu kurang lebih 2 jam, itu karena saya belum tahu lokasi kantor imigrasi tasikmalaya tersebut. Dengan menggunakan GPS di hp dan sedikit tanya sana-sini kurang lebih pukul 8.00 saya tiba di lokasi tujuan Saya.

Setelah mengurus persyaratan, sidik jari dan photo diri maka seluruh proses pendaftran passpor saya selesai. Seperti biasa sebagai ahli smoking, tidak afdol bagi saya menutup seluruh kegiatan tanpa kopi dan rokok. Maka setelah keluar gerbang kantor imigrasi pandangan saya langsung menuju ke warkop terdekat.
"Bu kopi satu" saya memesan kopi kepada pemilik warung sembari mencari-cari lokasi paling mantap.

Duduklah Saya di samping seorang lelaki setengah baya, lelaki yang akhirnya saya tahu bernama Pa Dasril, seorang lelaki yang menemani anaknya mengurus passpor di tempat yang sama.

"Dari mana dek" bapak itu bertanya kepada Saya dengan bahasa sunda yang cukup kasar yang membuat saya berfikir bahwa Bapak itu sedikit tidak terpelajar. Apalagi setelah melihat penampilannya yang cukup tidak rapih.

"Dari kantor imigrasi pak" saya menjawab dengan sedikit sombong. Berharao ia bertanya lagi tentang alasan Sata membuat passpor, karena jika ia bertanya maka saya akan menjawabnya dengan percaya diri bahwa Saya buat passpor untuk melanjutkan kuliah ke luar negeri. Meskipun saya tahu kepastian buat berangkat ke luar negeri itu masih jauh. Toh ini baru sebatas mengumpulkan persyaratan.

Tadinya Saya berfikir si Bapak ini hanya seorang yang numpang lewat saja, jadi sayapun balik bertanya :
"Bapak sendiri dari mana?"
"Nemenin anak buat passpor dek" ia menjawab. Pasti buat jadi TKI/TKW gumamku dalam hati.

saya lalu lanjut bertanya :
"Mau pergi kemana pak, anaknya?"
"Pergi ke Thailand"  saya menjadi semakin penasaran, kalau jadi TKI khan biasanya malaysia atau arab saudi.

"Mau apa ke Thailand pak?"
"Kuliah dek" jawaban singkat yang membuat kesombongan saya berubah menjadi kekaguman. Bagaimana seorang lelaki dengan penampilan kucel seperti ini mampu menguliahkan anaknya ke luar negeri.

Lantas, pikiran Saya melayang teringat anak2 Saya yang saat masih sangat kecil, setiap kali saya memikirkan mereka saya selalu khawatir jika Saya tidak dapat membesarkan mereka dengan benar. Tidak dapat memberi mereka hidup yang layak, pendidikan yang bagus dan sebagainya. Dunia yang  mereka hadapi semakin hari semakin keras, akan kah mereka menjadi manusia yang bermanfaat atau justru menjadi sampah masyarakat dan jauh dari nilai-nilai agama.

Sayapun menyingkirkan semua kesombongan Saya lantas bertanya kepada Bapak tadi tentang cara dia mendidik anaknya hingga bisa memberikan masa depan yang baik bagi anak-anaknya.

Singkat kata dari seluruh proses obrolan yang cukup panjang untuk diceritakan jika harus diceritakan dalam format skenario tanya jawab ala dialog dalam skenario film, Saya mengetahuu bahwa bapak itu memiliki 2 orang anak yang satu bekerja sebagai pelaut karena lulusan sekolah pelayaran dan yang satu lagi adalah yang tadi diceritakan.

Ia sendiri bekerja sebagai sopir serabutan, kadang sopir bis, kadang supir elf atau kadang kadang supir angkot. Sebuah pekerjaan yang secara logika sangat jauh untuk dapat memberikan masa depan bagi anak-anaknya. Ternyata ia bisa.

Sayapun semakin kagum, akhirnya seperti seorang mahasiswa yang lagi bimbingan di depan supervisornya sayapun manggut-manggut mendengar setiap ucapan dari Bapak ini.

Satu hal yang Saya tangkap dari ucapannya yang kadang tidak Saya mengerti adalah ucapannya yang seperti ini :

"Kita harus kerja keras demi mereka (anak-anak) dan jauhi setiap hal negatif yang ada di sekitar kita. Sopir itu banyak godaannya. Mabok itu lumrah tapi saya tidak pernah mabok."

Kurang lebih seperti itu ucapan Bapak itu tapi tentunya dengan bahasa sunda yang sedikit kasar.

Keberhasilan si Bapak tadi bisa jadi hanya sebatas permukaan. Menguliahkan anak keluar negeri dan membuat mereka hidup mapan saat mereka dewasa hanyalah sebagian sisi dari indikator keberhasilan sebuah jabatan "orang tua". Tapi satu hal yang pasti adalah ucapannya tentang menjauhi sisi negatif di sekitar kita.

Yang memberikan rezeki adalah tuhan semesta alam dan yang menjamin kehidupan adalah Tuhan maha pengasih.  Dengan menjauhi sisi negatif kita maka kita memberikan jaminan bagi masa depan anak-anak kita kelak karena melalui kedekatan kita dengan sang penciptlah kita menitipkan anak-anak kita.

Kegagalan sistem pendidikan kita yang menciptakan manusia generasi muda yang cerdas tanpa karakter, yang pintar tanpa moral, yang mampu berfikir logis tanpa nurani mungkin bukan disebabkan oleh sisttem itu sendiri melainkan oleh jauhnya kita generasi orang tua dari nilai-nilai ketuhanan.

Kita sering mengeluh tentang hancurnya moral generasi muda kita tanpa berkaca atas apa yang kita turunkan kepada mereka, jika guru kencing berdiri maka murid kencing berlari. Jika kita ingin anak-anak kita baik maka setidaknya kita harus lebih baik.

Semoga kita bisa jadi orang tua yang lebih baik sehingga setidaknya anak-anak kita akan baik. Jika kita hanya baik maka anak-anak kita hanya akan berada pada pase yang sedikit dibawah baik.

Semoga kita mampu menunaikan amanat tuhan dengan baik atas anak-anak kita.




SEBUAH BUKU TENTANG PEGAWAI NEGERI

..

terpopuler

PNS

ABDI NEGARA

ABDI MASYARAKAT