I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagai sebuah
bangsa dan negara Indonesia dinilai memiliki potensi yang teramat besar untuk
dapat menjadi sebuah bangsa yang maju hal ini dapat dilihat dari :
- Luas wilayah seluas 5.180.053 KM2 yang sepertiganya adalah lautan dimana di dalamnya tersimpan berbagai potensi yang luar biasa menjanjikan seperti minyak bumi, gas alam, barisan terumbu karang yang indah, perikanan kelautan serta sumber daya pariwisata yang tidak ternilai harganya.
- Negara dengan Gugus pulau sebanyak 17.504 pulau (menurut data Tahun 2004) dan garis pantai sepanjang 54.716 KM yang berarti negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia.
- Negara dengan 34 Propinsi 440 Kabupaten/kota, 5500 an Kecamatan dan sekitar 73.000 Desa yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan struktur pemerintahan salah satu yang terbesar di dunia.
- Letak geografis berada tepat di tengah garis Khatulistiwa yang dengan itu menyebabkan iklim hangat senantiasa meliputi wilayah negara ini sepanjang tahunnya. Kondisi ini merupakan surga bagi berbagai macam flora dan fauna, sehingga tak heran jika hampir seluruh jenis hewan dan tumbuhan dapat hidup di wilayah negeri tercinta ini.
- Negara dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 250 juta jiwa yang menunjukkan bahwa negeri ini tidak akan pernah kekurangan akan sumber daya manusia.
- Negara dengan 300 etnis 1.340 Suku Bangsa, 546 bahasa dan sub bahasa daerah serta 6 Agama berbeda tapi dipersatukan dengan Proklamasi, Pancasila dan Falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
- Negara dengan berbagai adat, budaya, norma dan etika tetapi hidup rukun dalam sebuah wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Meskipun begitu faktanya negara ini belum
mampu memanfaatkan seluruh potensinya tersebut untuk membangun sebuah bangsa
yang maju dan bersaing dengan negara lain di dunia. Salah satu indikator
kemajuan negara dapat dilihat dari pendapatan per kapita masyarakatnya. berikut
ini bukti bahwa negara ini masih jauh tertinggal dari bangsa lainnya :
Tabel 1.1
Pendapatan Perkapita Negara ASEAN
NO
|
PERINGKAT
|
NAMA NEGARA
|
PENDAPATAN PER KAPITA
|
TAHUN
|
1
|
6
|
Singapura
|
$ 60,900
|
2012
|
2
|
11
|
Brunei Darussalam
|
$ 50,500
|
2012
|
3
|
74
|
Malaysia
|
$ 16,900
|
2012
|
4
|
113
|
Thailand
|
$ 10,000
|
2012
|
5
|
117
|
Timor Leste
|
$ 9,500
|
2012
|
6
|
155
|
Indonesia
|
$ 5,000
|
2012
|
7
|
162
|
Piliphina
|
$ 4,300
|
2012
|
8
|
167
|
Vietnam
|
$ 3,500
|
2012
|
9
|
173
|
Kamboja
|
$ 3,000
|
2012
|
10
|
184
|
Laos
|
$ 2,400
|
2012
|
11
|
205
|
Myanmar
|
$ 1,400
|
2012
|
Sumber: CIA World Factbook 2013
Data di atas
menunjukkan bahwa berdasarkan pendapatan per kapita Negara Indonesia masih
tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei
Darussalam, Thailand bahkan “eks” kita Timor (Timur) Leste sekalipun.
Beberapa persoalan
yang mengemuka perihal ketidakmampuan negara ini dalam membangun peradaban
besar adalah tingginya tingkat korupsi, minimnya investasi, rendahnya kualitas
sumber daya manusia, tingginya utang luar negeri dan ketidaksinkronan dunia
pendidikan dengan dunia pekerjaan yang menyebabkan pengangguran semakin
bertambah setiap tahunnya di negeri tercinta kita ini.
Persoalan-persoalan
yang Saya sebutkan tersebut akhirnya mengerucut pada pentingnya pendidikan
karakter bangsa hal ini disebabkan bahwa seluruh persoalan tersebut lahir
karena tidak kuatnya pondasi karakter bangsa.
Korupsi lahir
karena kurangnya kejujuran dan integritas pribadi terhadap negaranya, minimnya
investasi dikarenakan budaya korup dan iklim investasi yang tidak kondusif,
rendahnya kualitas sumber daya manusia ditengarai bukan dari sisi
intelektualitas melainkan dari sisi karakter, dan tidaksinkronnya pendidikan
dengan dunia pekerjaan sekali lagi hal tersebut berhubungan dengan karakter,
pendidikan saat ini hanya menciptakan karakter “pencari kerja” bukan “pencipta
lapangan pekerjaan”.
Ditengah badai
globalisasi dan modernitas saat ini harus diakui bahwa perlahan namun pasti karakter
bangsa Indonesia dewasa ini telah tercerabut dari akarnya. Hal ini dapat kita
lihat dari :
1. Pudarnya semangat ketuhanan. Korupsi, Dekadensi Moral, Tingginya
kriminalitas dan Meningkatnya penyebaran Narkoba adalah buktinya;
2. Pudarnya budaya malu. Para koruptor, Merebaknya Pornograpi dan
pornoaksi adalah buktinya;
3. Hilangnya kesalehan sosial. Konflik antar suku bangsa, antar kampung
dan antar agama adalah buktinya;
4. Hilangnya semangat kebersamaan. Individualisme, Hedonisme, tingginya kesenjangan kaya-miskin dan tidak
berkembangnya ekonomi kerakyatan adalah buktinya.
Tentunya masih
banyak bukti lain yang akurat perihal pudarnya karakter bangsa ini, oleh karena
itu maka pentingnya pendidikan karakter bangsa adalah sebuah keniscayaan.
1.2. Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang
dikemukakan maka dapat kita identifikasi beberapa permasalahan terkait karakter
bangsa Indonesia saat ini yaitu :
1.
Globalisasi dan Modernitas telah
secara nyata mencabut karakter bangsa Indonesia yang sesungguhnya;
2.
Pancasila sebagai karakter bangsa
belum dipahami dan diamalkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia;
3.
Belum tingginya kesadaran terhadap
pentingnya karakter bangsa dalam upaya meningkatkan pembangunan;
4.
Pemerintah memiliki “pobia”
terhadap pembentukan karakter bangsa dikarenakan pengalaman orde pemerintahan
sebelumnya yang “mempolitisasi” pembentukan karakter bangsa;
5.
Belum terdapat sebuah metode
strategis dalam pembentukan karakter bangsa.
1.3. Perumusan Masalah
Permasalahan-permasalahan yang kita
hadapi dalam pembangunan karakter bangsa tentunya sangatlah kompleks, oleh
karena itu untuk mempertajam pembahasan maka penulis hanya akan membahas
beberapa permasalahan krusial terkait;
1.
Bagaimana arti penting pendidikan
karakter bagi kemajuan suatu bangsa;
2.
Bagaimana pendidikan karakter
diterapkan di negara Indonesia saat ini (Orde Reformasi).
1.4. Tujuan
Tujuan Makalah ini adalah :
1.
Menggambarkan pentingnya
pendidikan karakter bagi kemajuan suatu bangsa;
2.
Mengambarkan Konsep Pendidikan
karakter diterapkan di Negara Indonesia saat ini (orde reformasi).
II
Dasar
Teoritis
2.1.
Pengertian Karakter dan Karakter Bangsa
2.1.1.
Pengertian Karakter
Secara
etimologis karakter dapat diartikan sebagaimana disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:445), yaitu
berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dari yang lain. Dalam istilah Inggris, karakter berpadanan dengan
“character” yang dalam Oxford Advace Learner’s Dictionary of Current English
(2000) dapat diartikan: (1) All the
qualities and features that make a person, groups of people, and places
different from others (semua baik kualitas maupun ciri-ciri yang membuat
seseorang, kelompok orang atau tempat berbeda dari yang lain); (2) the way the something is, or a particular
quality or peature that a thing, an event or a place has (cara yang khas
atau kekhasan yang dimiliki oleh sesuatu, peristiwa atau tempat); (3) strong personal qualities such as the
ability to deal with difficult or dangerous situations (kualitas pribadi
yang tangguh misalnya kemampuan dalam menghadapi situasi yang sulit atau
berbahaya); (4) the interesting or
unusual quality that a place or a person has (kualitas menarik dan luar
biasa yang dimiliki suatu tempat atau orang); (5) a person, particularly an unpleasant or strange one (orang yang
aneh atau tidak menyenangkan); (6) an
interesting or unusual person (orang yang menarik dan luar biasa); (7) the opinion the people have of you,
particularly of whether you can be trusted or relied on (pendapat khalayak tentang
anda, apakah anda dapat dipercaya).
Sementara itu
beberapa ahli mengemukakan pendapat tentang pengertian karakter diantaranya, Karakter yang baik menurut Maxwell (2001)
lebih dari sekedar perkataan, melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan.
Ia bukan anugerah, melainkan dibangun sedikit demi sedikit, dengan pikiran,
perkataan, perbuatan, kebiasaan, keberanian usaha keras, dan bahkan dibentuk dari
kesulitan hidup. Pusat Bahasa Depdiknas mengartikan karakter sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas,
sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter, adalah berkepribadian,
berperilaku, bersifat, dan berwatak
Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan karakter adalah sebuah watak, sifat dan perilaku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Karakter lebih lanjut ditunjukkan dalam bentuk perbuatan dan kebiasaan. Karakter baik akan tercermin dari perbuatan dan kebiasaan yang baik sebaliknya karakter buruk akan menjelma menjadi perbuatan dan kebiasaan buruk.
Selanjutnya berkenaan dengan proses terbentuknya karakter maka terdapat tiga teori pembentukan karakter manusia yaitu, pertama Freud dengan teori psikoanalisanya yang memandang manusia sebagai homo volens, yakni makhluk yang perilakunya dikendalikan oleh alam bawah sadarnya.Perilaku manusia merupakan hasil interaksi dari tiga pilar kepribadian; id, ego dan super ego, yakni komponen biologis, psikologis dan social, atau komponen hewani, intelek dan moral.
Kedua Teori Behaviorisme yang memandang perilaku manusia bukan dikendalikan oleh factor dalam alam bawah sadar) tetapi sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan yang nampak, yang terukur, dapat diramal dan dapat dilukiskan. Menurut teori ini manusia disebut sebagai homo mechanicus, manusia mesin. Mesin adalah benda yang bekerja tanpa ada motiv di belakangnya, sepenuhnya ditentukan oleh factor obyektip (bahan baker, kondisi mesin dsb). Manusia tidak dipersoalkan apakah baik atau tidak, tetapi ia sangat plastis, bisa dibentuk menjadi apa dan siapa sesuai dengan lingkungan yang dialami atau yang dipersiapkan untuknya.
Ketiga teori Kognitip yang menyatakan bahwa manusia tidak tunduk
begitu saja kepada lingkungan, tetapi ia bisa bereaksi secara aktif terhadap lingkungan dengan cara
berfikir. Manusia berusaha memahami
lingkungan yang dihadapi dan
merespon dengan fikiran yang dimiliki. Oleh karena itu menurut teori
Kognitip, manusia disebut sebagai homo sapiens, makhluk yang berfikir.
Ketiga teori
tersebut menunjukkan perdebatan para ahli tentang faktor-faktor pembentuk
perilaku atau karakter manusia, teori psikoanalisis berpendapat bahwa perilaku
manusia digerakan oleh sumber daya pribadinya (alam bawah sadar) menurut teori
ini pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia sangatlah terbatas sementara
pengaruh terbesar adalah dari kepribadian manusia itu sendiri.
Teori
Behaviorisme memendang sebaliknya, dalam kacamata teori ini lingkungan sangat
dominan sebagai pembentuk perilaku manusia, baik-buruknya manusia ditentukan
oleh lingkungannya hal tersebut karena saat dilahirkan manusia adalah mahluk
yang netral tanpa cap baik ataupun buruk.
Teori kognitif
mungkin dapat dipandang sebagai perpaduan keduanya karena selain lingkungannya
manusiapun dipandang dapat merespon stimulus lingkungan melalui kemampuannya
berfikir.
a. Cara Berfikir (Internal)
b. Pengalaman (traumatis) Pribadi (internal)
c. Nilai Pribadi (internal)
d. Etika dan nilai masyarakat (Lingkungan)
e. Kondisi Lingkungan (lingkungan)
2.1.2.
Karakter Bangsa
Dilandasi
pengertian karakter sebagaimana disampaikan sebelumnya maka pengertian karakter
bangsa dapat diartikan sebagai suatu watak, sifat dan perilaku kelompok
masyarakat/bangsa yang khas dan membedakannya dengan bangsa lain. Karakter
bangsa terwujud dalam bentuk budaya, adat kebiasaan, etika dan norma yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat suatu bangsa.
Sebagai
sebuah konsep bersama maka karakter bangsa berdiri diatas karakter-karakter
individu yang tercermin dalam perilaku sosialnya. Hubungan dengan dan antara
individu dalam masyarakat akan sangat terpengaruh oleh karakter bangsa yang
menjadi ciri khas masyarakatnya.
Karakter
bangsa selanjutnya terbentuk berdasarkan pengaruh lingkungannya, nilai dan
norma yang berlaku serta kebiasaan dan budaya yang berkembang selama periode
kehidupan sosial dalam suatu bangsa.
Karakter
bangsa adalah merupakan interaksi antara karakter individu dengan lingkuan
sosial dan sebaliknya. Lingkungan sosial sebagaimana teori behaviorisme
memberikan pengaruh terhadap karakter manusia, selanjutnya karakter manusia
(melalui pemikiran sebagaimana disebutkan teori
kognitif) dalam sebuah lingkungan sosial akan melakukan rekayasa terhadap
kondisi sosial yang memungkinkan adanya perubahan karakter masyarakat.
Ketidaksesuaian etika dan norma sosial akan dirubah sesuai dengan kondisi
kekinian, faham dan pendapat umum yang berlaku dikritisi dan direstrukturisasi sehingga sejalan dengan
perubahan jaman. Begitulah seyogyanya individu dan lingkungan akan saling
berinteraksi, proses ini akan terus berjalan hingga terbentuknya sebuah kondisi
dan karakter ideal yang diinginkan oleh masyarakat dan lingkungan.
Indonesia
sebagai sebuah bangsa pada mulanya merupakan entitas murni tanpa nilai dan
norma, berikutnya berdasarkan konvensi para pendahulu menetapkan norma dan
nilai kebangsaan sebagai basic standar
dalam kehidupan bangsa dan negara. basic
standar ini akhirnya kita kenal dengan nama Pancasila. Basic dasar ini
adalah merupakan rumusan dari kebudaya, kebiasaan, nilai dan etika yang hidup
dalam keseluruhan masyarakat Indonesia.
Secara
operasional karakter pancasila ini adalah merupakan pengejawantahan dari
sila-sila dalam Pancasila yakni:
1.
Bangsa berketuhanan;
2.
Bangsa berkemanusiaan;
3.
Bangsa bersatu dan cinta tanah air
4.
Bangsa yang bergotong royong
5.
Bangsa yang berkeadilan
Selain karakter bangsa indonesia yang pancasilais sebagaimana dikemukakan di atas para ahli menyatakan bahwa bangsa indonesia memiliki karakter negatif yang perlu diwaspadai dan diperbaiki. Beberapa pendapat ahli tersebut diantaranya, Koentjaraningrat (1974) dalam Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, menyatakan sedikitnya ada lima mentalitas negatif bangsa Indonesia: (1) meremehkan mutu; (2) cenderung mencari jalan pintas (menerabas); (3) tidak percaya diri; (4) tidak berdisiplin; dan (5) mengabaikan tanggung jawab. Sementara itu Pendapat lainnya dikemukakan oleh Muchtar Lubis (1986) menyatakan bahwa ciri negatif manusia Indonesia: (1) hipokritis alias munafik; (2) segan dan enggan bertanggung jawab; (3) berjiwa feodal; (4) masih percaya takhyul; (5) artistik; (6) memiliki watak yang lemah; (7) bukan economic animal;
Maka dari itu
pendidikan karakter bangsa sangatlah diperlukan untuk memaksimalkan karakter
baik bersama seluruh potensinya dan menekan karakter negatif sebagaimana
pendapat ahli di atas bersama seluruh kelemahan yang terkandung di dalamnya.
III
PEMBAHASAN
2.2. Arti Penting Karakter Bangsa
1. Pentingngya Pembentukan
Karakter Bangsa
Kesadaran
tentang pentingnya karakter bangsa dalam meningkatkan pembangunan di seluruh
bidang ternyata semakin disadari oleh para pemangku kepentingan di Indonesia,
hal ini dapat kita lihat dari semakin banyaknya pihak yang mengkaji dan
mengembangkan konsep-konsep pendidikan karakter. Beberapa diantara yang mencuat
adalah ESQ atau Emosional Spiritual Question yang dikembangkan oleh seorang
motivator bernama Ary Ginanjar, selain itu dapat kita lihat juga dalam
Undang-Undang nomor 20 Tahun 2013 tentang sistem Pendidikan nasional yang menunjukkan
bahwa pemerintah memberikan perhatian besar terhadap pendidikan nasional berbasis
karakter.
Kesadaran
tersebut sesungguhnya sejalan dengan perkembangan paradigma pendidikan dunia
dan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kesuksesan seorang manusia
tidak hanya ditentukan oleh aspek intelektualnya melainkan lebih besar dipengaruhi
oleh kemampuan emosional dan spiritual seseorang.
Hal
tersebut sangat masuk akal mengingat setiap manusia ataupun bangsa adalah
entitas yang unik, di dalamnya terdapat keunggulan dan kelemahan yang
membedakan antara satu entitas dengan entitas lainnya, Intelektual hanyalah
salah satu keunggulan diantara beberapa kelemahan yang lainnya. Emosional dan
spritual adalah kemampuan afektif dan fsikomotorik yang akan merespon keunggulan dan
kelemahannya menjadi sebuah kunggulan kompetitif yang mampu membuatnya bersaing
dengan entitas lainnya, sementara itu intelektual bersifat pasif ianya berupa
keunggulan tanpa mampu untuk memberdayakannya jika tidak menggunakan keunggulan
lainnya yaitu emosional dan spiritual.
Pun
dengan bangsa dan negara, sebagai sebuah entitas maka kemajuannya bukan
terletak pada seberapa berlimpahnya sumber daya alam dan sumber daya manusia
yang dimilikinya melainkan seberapa kuat identitas dan jatidiri (karakter)
masyarakatnya. Kenyataan terpampang di hadapan kita bagaimana bumi pertiwi yang
memiliki berbagai keunggulan tak mampu bersaing dengan bangsa lain karena
lemahnya karakter bangsa.
Lemahnya
karakter bangsa ini dapat kita temukan dalam perikehidupan masyarakat kita dewasa
ini diantaranya :
a.
Semakin meningkatnya konflik
horizontal berlatar perbedaan suku, perbedaan agama bahkan perbedaan tempat
sekolah;
b.
Terjadinya degradasi moral (seks
bebas, penggunaan narkoba dan budaya hedonisme yang semakin populer);
c.
Runtuhnya kontruksi sosial
masyarakat (nilai, norma sosial dan sopan santun sudah tidak memiliki kekuatan mengikat
lagi);
d.
Demokrasi nasional/daerah yang
tidak sehat (memaksakan kehendak dan main hakim sendiri);
Bukti-bukti
di atas menunjukkan bahwa karakter bangsa Indonesia yang Pancasilais telah
pudar, semangat kebhinekatunggalikaan yang selama ini menjadi ciri khas bangsa
ini perlahan tapi pasti telah mudar dalam jiwa masyarakat Indonesia. Begitupun
halnya dengan religiusitas bangsa yang dulu dikenal sangat tinggi mulai
berganti dengan faham-faham sekuler dan hedonisme.
Pudarnya
keunggulan-keunggulan kompetitif bangsa tersebut semakin memperkuat karakter
negatif bangsa indonesia yang sudah ada sebelumnya sebagaimana dikemukakan oleh
Koentjaraningrat (1974) yaitu (1) meremehkan mutu; (2) cenderung
mencari jalan pintas (menerabas); (3) tidak percaya diri; (4) tidak
berdisiplin; dan (5) mengabaikan tanggung jawab. Akhirnya kelemahan yang
ditengarai telah dimiliki sejak dahulu bertambah dengan lahirnya karakter-karakter
negatif yang laih kemudian. Kondisi ini tentunya semakin memperparah kondisi
bangsa Indonesia saat ini.
Penyebab
pudarnya karakter-karakter baik bangsa ini dapat kita analisis disebabkan oleh
:
1.
Berkembangnya globalisasi tanpa disertai
dengan perkembangan pranata sosial masyarakat. Globalisasi sangat disadari akan
memberikan dampak negatif jika tidak disertai dengan pembangunan pranata sosial
yang efektif menangkal berbagai pengaruh negatif pertukaran informasi dari
bangsa lain yang tidak selaras dengan karakter bangsa.
Pranata sosial yang dimaksud adalah etika,
nilai, norma dan sanksi sosial masyarakat terhadap berbagai penyimpangan norma.
2.
Kurangnya intervensi pemerintah dalam
pembentukan karakter masyarakat, selama ini kebijakan pembentukan karakter yang
dilaksanakan oleh pemerintah cenderung tidak berpola dan parsial, tidak berpola
artinya tidak memiliki konsep yang jelas tentang arah, tujuan dan metode
pelaksanaanya. Parsial karena pendidikan karakter yang diajarkan di lembaga-lembaga
pendidikan tidak berjalan serasi dengan tatanan kehidupan sesungguhnya. Saya
contohkan semangat gotong royong yang mencoba dikenalkan kepada siswa sekolah
kenyataannya sangat sulit ditemukan di tengah-tengah masyarakat terutama di
kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya.
3.
Kebijakan pengembangan karakter bangsa oleh
pemerintah sering kali setengah hati mengingat pengalaman masa lalu yang sering
kali mempolitisasi pembentukan karakter bangsa ini untuk kepentingan penguasa.
Arti
penting karakter bangsa ini seyogyanya telah disadari oleh para pendahulu
bangsa terutama pemerintahan orde baru, maka lahirlah apa yang disebut P4
(Pendidikan, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Meskipun dalam tataran
pelaksanaan sering kali disalahartikan tapi kebijakan pengembangan pancasila
oleh pemerintah orde baru ini sesungguhnya merupakan sebuah langkah yang sangat
baik.
Penerapan
dalam kurikulum semata takan efektif mengingat apa yang diajarkan kepada siswa
didik tidak memiliki tauladan dalam tataran kehidupan sosial yang nyata. Penerapan
untuk kalangan orang tua semata lebih tidak efektif lagi mengingat generasi
muda sangat rentan dengan pengaruh budaya dan karakter negatif dari luar. Oleh
karena itu seyogyanya kebijakan pembentukan karakter masyarakat dilaksanakan secara
komprehensif yang pembahasannya akan disajikan pada bab selanjutnya.
Lebih
lanjut arti penting pembentukan karakter bangsa ini dapat kita lihat
berdasarkan pendapat para tokoh dan ahli berikut ini :
·
Mahatma Gandhi memperingatkan bahwa salah satu tujuh dosa
fatal, yaitu “education without character”(pendidikan
tanpa karakter);
·
Dr. Martin Luther King yang pernah
berkata: “Intelligence plus character….that is the goal
of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan
akhir dari pendidikan sebenarnya);
·
Theodore Roosevelt yang
mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals
is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek
kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada
masyarakat);
·
Ki Hajar Dewantara menyampaikan
pendapat tentang pentingnya pendidikan yang berpilar kepada Cipta, Rasa dan
Karsa. Bermakna bahwa pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan (knowledge) tetapi juga mengasah
afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi kepentingan ummat manusia. (http://pks.psikologi.unair.ac.id/coretan-kami/membangun-peradaban-bangsa-dengan-pendidikan-berkarakter-moral/)
·
Muhammad SAW : Aku diutus Allah
semata-mata untuk menyempurnakan ahlak (karakter).
2.
Belajar
dari Khalifah Umar Bin Khatab dan Negeri Jepang
Melalui sejarah tentunya kita mengenal
bagaimana peradaban Islam masa kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khatab berkembang
pesat dan menyebar begitu luas hingga penjuru dunia. Beberapa hal yang dapat kita pelajari dari
bagaimana sang murid Rosululloh ini dapat berhasil menjalankan roda
pemerintahan adalah bagaimana beliau begitu mengerti arti penting karakter atau
ahlak pemerintah dan masyarakatnya. Oleh karena itu dalam setiap kebijakannya
beliau menekankan pendekatan ahlak sebagai bagian penting dalam menjalankan
roda pemerintahan, hal ini dapat kita lihat dalam penunjukkan pejabat atau pembantu
urusan dinasnya yang senantiasa memperhatikan aspek ahlak, kebiasaan sholatnya,
hubungan dengan masyarakatnya dan
kemampuannya mengelola emosi. Sementara itu aspek kompetensi intelektual hanya
dijadikan pertimbangan terakhir.
Selain itu beliaupun menegaskan aspek
ketaladanan bagi seluruh pembantu pemerintahnya, seluruh gubernur di wilayah
kekhalifahan diperintahkan untuk menjaga perilakunya, menjalani hidup dengan
kesederhanaan dan mendahulukan kepentingan masyarakatnya. Jika terdapat laporan
perihal perilaku dan gaya hidup pembantunya yang berlebihan maka beliau akan
mengklarifikasinya dan jika terbukti benar maka beliau tak segan-segan
menggantinya dengan orang lain yang lebih baik.
Konsep seperti ini adalah sebuah konsep
pembangunan karakter bangsa melalui keteladanan. Hal ini penting untuk
dilakukan karena kerap kali karakter baik yang diajarkan oleh orang tua maupun
guru tak mendapatkan kondisi yang mendukung untuk berkembang disebabkan tidak
adanya keteladanan dari lingkungan kehidupan. Keteladanan itu harus dimulai
dari strata kehidupan paling tinggi dalam suatu bangsa yakni para pemimpinnya.
Setelah kita belajar dari khalifah Umar maka
selanjutnya terdapat bangsa lain yang begitu kuat karakternya sehingga saat ini
mampu menjadi salah satu bangsa yang maju dan diperhitungkan dalam percaturan
dunia, yaitu bangsa jepang. Kita semua mengenal bagaimana karakter bangsa
Jepang yang ulet, pekerja keras dan menghargai kehormatan pribadi begitu
tinggi.
Pribadi jepang seperti ini adalah kepribadian
khas para samurai jaman Shogun dahulu. Memang sangat menarik untuk dikaji
bagimana proses transformasi melalui “restorasi meiji” dahulu merubah tatanan
jepang tidak mencabut karakter positif para samurai melainkan memperkuatnya.
Berbeda hal dengan bangsa Indonesia dalam alam
reformasi ini, reformasi yang dicanangkan sebagai sebuah upaya merubah tatanan
masyarakat masa orde baru ternyata menyebabkan bangsa ini berada dalam kondisi
perubahan yang ekstrim, perubahan itu ternyata menyebabkan perubahan terhadap watak
dan karakter positif bangsa, sehingga watak positif tersebut tergerus dan mati
sementara muncullah watak dan karakter baru yang tidak sesuai dengan watak
bangsa yang sebelumnya.
Kebebasan yang berlebih dalam era reformasi
ditafsirkan sebagai kebebasan yang mutlak sehingga nilai dan norma yang berlaku
menjadi gamang, selain norma hukum yang masih memiliki kekuatan mengikat maka norma
sosial dan norma lainnya yang selama ini berlaku di masyarakat dipandang
sebagai sesuatu yang feodal dan tidak memiliki kekuatan mengikat lagi.
Norma susila misalnya semakin dipandang
sebagai sesuatu yang tidak penting lagi, hal ini terbukti dengan longgar
kontrol sosial atau permisifnya masyarakat kita terhadap pelanggaran norma
susila. Sesuatu yang dahulu dinilai tabu
dan aib tidak lagi dipandang demikian. Sesuatu yang dahulu memalukan menjadi
kelumrahan dan sesuatu yang dahulu jarang terjadi menjadi kerap kali terjadi.
Inilah sebuah kondisi yang membutktikan bahwa
bangsa ini tidak lagi memiliki identitas, secara sederhana dapat dikatakan
bahwa Indonesia sebagai bangsa timur telah bergeser menjadi bangsa setengah
timur dan setengah barat. Watak orang timur yang menjunjung norma agama,
kesopanan dan kesusilaan telah hilang dan watak orang barat rasional, ilmiah
dan pekerja keras belum terbentuk. Sementara itu watak yang justru hadir adalah
materialisme, hedonisme dan karakter negatif lainnya.
Oleh karena itu pembentukan karakter bangsa
saat ini seyogyanya berupa revitalisasi karakter bangsa yaitu mengembalikan
karakter postif bangsa, menekan karakter negatif bangsa sendiri dan bangsa luar
(barat) serta menanamkan watak positif bangsa barat.
2.3. Konsep Pendidikan Karakter
Bangsa Indonesia dalam Konteks kekinian
Sebagaimana saya
kemukakan bahwa pembentukan karakter bangsa saat ini seyogyanya bermakna
revitalisasi, mengembalikan karakter
asli bangsa, menekan karakter negatif bangsa sendiri dan luar (barat) serta
menanamkan karakter postif bangsa lain di dunia.
Untuk
melakukan hal tersebut maka diperlukan langkah-langkah strategis pembentukan
karakter bangsa diantaranya :
1.
Menganalisa permasalahan Karakter
Bangsa;
2.
Menyusun Formulasi Karakter Bangsa
3.
Menyusun Kelompok Sasaran;
4.
Menetapkan Metode;
5.
Menyusun Visi, Misi dan Strategi;
6.
Penguatan Aturan dan Kelembagaan.
A. Menganalisa Permasalahan
Karakter Bangsa
Permasalahan
karakter bangsa yang telah secara nyata terlihat di hadapan mata tentunya tidak
akan bisa diperbaiki selama tidak dilaksanakan analisa yang cermat terhadap
keberadaanya. Oleh karena itu sebelum lakukan langkah terhadap pembentukan
karakter bangsa maka perlu dilakukan analisa mendalam terhadap permasalahan
tersebut. Analisa dimaksud termasuk di dalamnya identifikasi masalah, analisis
penyebabnya dan solusi penanganannya.
B.
Menyusun Formulasi Karakter Bangsa
a.
Dilema Pancasila
Pancasila adalah sebuah ide yang lahir
berdasarkan pemikiran para founding
father yang diambil dari kondisi latar belakang dan sosial budaya
masyarakat Indonesia saat itu. Sebagai falsafah bangsa, Pancasila menghadapi
dilema dalam tataran pelaksanaan dan pengamalannya.
Dilema pancasila tersebut diantaranya pertama ide Pancasila belum sepenuhnya
dijiwai oleh seluruh masyarakat Indonesia karena konstruksi Pancasila hadir
belakangan dari pada masyarakat itu sendiri, sehingga karakter pancasila belum
sepenuhnya meresap di dalam jiwa masyarakat.
Dilema kedua adalah Pancasila merupakan konsep yang lahir berdasarkan
pemikiran yang relatif masih muda, Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945
buah pemikiran Sang Proklamator Soekarno.
Dilema ketiga adalah Pancasila merupakan sebuah konsep umum yang
membutuhkan penjabaran sehingga dapat bersifat operasional.
b.
Dilema Pancasila dan pengaruhnya terhadap Pembentukan Karakter Bangsa
Dilema pertama dimana konstruksi Pancasila yang muncul belakangan dari
masyarakatnya menyebabkan konsep pancasila belum membumi dan dipraktekan secara
menyeluruh oleh masyarakat Indonesia.
Sebagai sebuah ide kehadiran pancasila
merupakan akumulasi dari nilai, adat kebiasaan dan norma yang berlaku di dalam
masyarakat. Akan tetapi kesadaran terhadap karakter kepancasilaan belum
sepenuhnya mengakar dalam jiwa masyarakat Indonesia kala itu.
Masyarakat belum sepenuhnya sadar
tentang karakter yang terdapat dalam sila Pancasila, hal ini dikarenakan kala
itu bangsa Indonesia masih terbelakang sehingga nilai, norma dan adat yang
berlaku dipandang sebagai sesuatu kenyataan yang ada tanpa sepenuhnya mengerti
arti keberadaannya.
Sebagai contoh kata pamali yang merupakan salah satu nilai dalam falsafah hidup
masyarakat Sunda kala itu, kerap kali diarahkan kepada sesuatu yang bersifat
takhayul dan mistis bukan pada kerangka pemikiran yang logis, hal ini sama
halnya dengan kata tabu.
Kondisi tersebut menyebabkan kegamangan
masyarakat ketika ide modernisasi lahir, karena rendahnya pemahaman terhadap
nilai dan adat yang berlaku tersebut maka keberadaannya dianggap sebagai
sesuatu yang feodal dan akan menghambat modernitas. Akhirnya dengan semangat
modernitas maka nilai, norma dan adat yang berlaku selama ini dianggap tidak
lagi relevan dengan perkembangan jaman. Sehingga tidak mengherankan jika banyak
diantara nilai dan norma yang selama ini berlaku, saat ini mati dan kehilangan
kekuatan mengikatnya. Akhirnya Pancasila tidak lebih hanya sekedar slogan tidak
bermakna.
Dilema kedua adalah Pancasila merupakan konsep yang lahir berdasarkan
pemikiran yang relatif masih muda, hal
ini berbeda dengan konsep atau karakter kstaria samurai di jepang, jika kita
pandang restorasi meiji sebagai pertanda lahirnya karakter bangsa jepang yang
modern maka ia telah lahir pada sekitar Tahun 1869-1870 an, sehingga wajar jika
karakter samurai modern ini telah menjelma sedemikian kuatnya dalam masyarakat
jepang.
Ide Pancasila yang relatif muda ini sama
halnya dengan dilema pertama menyebabkan keberadaannya belum mengakar dalam
seluruh masyarakat Indonesia, keberadaannya terus dipertanyakan terutama oleh
sebagian besar masyarakat yang menganut ide-ide kebangsaan lain seperti
liberalisme, kapitalisme dan tentunya komunisme.
Dilema ketiga keberadaan Pancasila yang bersifat umum dan membutuhkan
penjabaran untuk dapat bersifat operasional. Kondisi ini menurut penulis
menyebabkan terjadinya kesalahan dalam mengartikan kandungan sila-sila dalam
pancasila, hilangnya budaya musyawarah mufakat dan berganti dengan pengambilan
keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah salah satu yang menurut pandangan
penulis merupakan kesalahan dalam mengartikan sila keempat Pancasila.
Pengambilan keputusan berdasarkan suara
terbanyak memang dapat dikatakan demokratis akan tetapi menurut penulis itu
bukanlah demokrasi pancasila, karena demokrasi pancasila akan mengedepankan
musyawarah untuk mupakat.
Ketiga dilema tersebut menyebabkan
pancasila belum dapat sepenuhnya diamalkan oleh masyarakat Indonesia saat ini,
terlebih Lagi jika kita berharap karakter manusia Indonesia yang pancasilais
adalah merupakan sebuah harapan tanpa ada tanda-tanda akan terwujud.
Seyogyanya falsafah bangsa merupakan
sebuah ide yang diambil berdasarkan adat kebiasan, nilai dan norma yang berlaku
pada suatu bangsa. Pancasilapun demikian hanya saja karena kesadaran masyarakat
terhadap nilai, adat kebiasan dan norma yang terkandung dalam pancasila masih
relatif lemah maka keberadaannya dipertanyakan terutama ketika berhadapan
dengan isu perubahan seperti saat reformasi hadir. Jikapun banyak pihak
menyadari kandungan yang ada dalam pancasila sebagai sesuatu yang sesuai dengan
kondisi bangsa, upaya untuk mengembangkannya seringkali terbentur dengan
perbedaan pandangan terhadap aspek operasional nilai sila-sila dalam pancasila.
Tanpa usaha nyata mengembangkan karakter
pancasila ke dalam perikehidupan masyarakat secara praktis maka kondisi yang
mungkin terjadi bahkan saat ini telah terjadi adalah Pancasila hanya sebatas
ide tanpa membentuk karakter masyarakatnya.
c.
Formulasi Karakter Bangsa
Berdasarkan pemikiran tentang keberadaan
pancasila sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka sebelum berbicara lebih jauh
tentang pembentukan karakter, terlebih dahulu perlu disusun sebuah formula
karakter bangsa yang positif. Hal ini dikarena diantara berbagai karakter
positif masyarakat indonesia terdapat karakter buruk yang perlu segera
diminimalisasi atau bahkan dihilangkan. Karakter negatif tersebut sebagaimana
disebut oleh Koentjaraningrat dan Muchtar Lubis.
Jika formulasi yang disepakati adalah
Pancasila maka penulis memandang perlu disusun sebuah formulasi operasional
atau penjabaran dari sila-sila yang ada dalam pancasila sehingga bersifat
operasional dan mudah difahami.
Upaya yang sama pernah dilakukan pada
masa pemerintahan orde baru yaitu dengan lahirnya 32 butir pengamalan
pancasila. Hal ini menurut saya penting karena kondisi pancasila sendiri yang
belum mengakar dalam jiwa dan keseharian masyarakat sehingga perlu dilakukan
upaya untuk membiasakan dan mengakarkan pancasila dalam perikehidupan
masyarakat Indonesia dewasa ini.
Catatan penting dalam rangka menyusun
formulasi karakter bangsa ini tentunya jangan sampai formulasi yang tersusun dijadikan
sebagai sebuah hukum positif yang mengikat yang akan membuatnya menjadi sebuah
alat penguasa untuk membungkam rakyatnya, melainkan biarlah formulasi ini
menjadi sebuah bahan ajar dan bahan refleksi bagi seluruh masyarakat Indonesia.
3. Menyusun Kelompok sasaran dan
metode yang digunakan
Kondisi kekinian menunjukkan bahwa
hilangnya karakter (pancasila) bangsa saat ini bukan hanya dialami oleh satu
kelompok usia atau satu kelompok generasi semata, melainkan oleh seluruh
masyarakat Indonesia sehingga untuk merubah kondisi ini tidak bisa dilakukan
secara parsial terhadap satu kelompok umur saja.
Oleh karena itu untuk mengefektifkan
upaya pembangunan karakter ini perlu dilakukan pembagian kelompok sasaran,
yaitu kelompok generasi muda dan kelompok generasi produktif (tua).
Pembagian kelompok ini penting untuk
menentukan metode yang akan digunakan, setiap kelompok sasaran perlu dilakukan
pendekatan yang sesuai dengan kondisi kelompok tersebut. Generasi tua dapat
menggunkan metode sosialisasi atau jika perlu pelatihan-pelatihan dasar
karakter, dan bagi generasi muda kita bisa menggunakan lembaga pendidikan.
Berkenaan dengan kelompok generasi muda
ini, kita dapat bernafas lega dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2013 tentang
sistem pendidikan nasional yang mengamanatkan pendidikan berbasis karakter.
Akan tetapi bagi kelompok sasaran generasi produktif (tua) hingga saat ini
belum terdapat sebuah metode yang efektif.
Kesinambungan pendidikan karakter antara
generasi muda dengan generasi tua perlu dilakukan mengingat pentingnya
keteladanan dalam penanaman karakter ini. Jika kita hanya terfokus pada
generasi muda semata maka hilangnya keteladanan dari generasi tua akan
menyebabkan karakter positif yang telah diajarkan di lembaga pendidikan tidak
memiliki pondasi kuat dalam tataran kehidupan nyata karena minimnya keteladanan.
Untuk menciptakan ketauladanan dan
kondisi yang mendukung terhadap berkembangnya karakteristik pancasila dalam
perikehidupan maka perlu diciptakan sebuah prakondisi yang memungkinkan faham
dan nilai pancasila berlaku dalam peri kehidupan sosial masyarakat, upaya ini
dilakukan dalam setiap aspek kehidupan sosial.
Secara operasional penciptaan pra
kondisi tersebut dilakukan melalui :
a.
Media massa, kita sangat menyadari
bahwa alat propaganda paling efektif dewasa ini adalah media massa oleh karena
itu untuk memperluas pemahaman dan pengamalan karakter pancasila perlu
dilakukan melalui media massa baik elektronik maupun cetak.
Peran media massa sangat penting untuk
meningkatkan pelaksanaan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan hingga tingkat
terkecil yakni keluarga. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak akan mungkin
sebuah kegiatan pembinaan dilakukan hingga tingkat keluarga oleh karena
satu-satunya jalan untuk memberikan pemahaman nilai pancasila hingga ke tingkat
keluarga adalah melalui media massa;
b.
Keteladanan Pemerintah (pimpinan),
kerap kali kita melihat tauladan negatif dilakukan oleh pemimpin bangsa ini hal
tersebut secara sadar maupun tidak sadar menciptakan dampak negatif bagi
perkembangan masyarakat oleh karena itu untuk menciptakan karakter masyarakat
yang positif haruslah dimulai dari pemerintah itu sendiri;
c.
Menghidupkan kembali pranata
sosial masyarakat, nilai, norma dan sanksi sosial yang saat ini mulai luntur
perlu dihidupkan kembali hal ini bermaksud untuk menciptakan kondisi ideal dari
sebuah karakter yang diinginkan untuk dapat relevan dengan kondisi
perikehidupan sosial yang nyata karena tanpa ada sebuah kondisi ideal maka
karakter yang telah terbangun akan mampu rusak oleh lingkungan.
Untuk hal ini penulis memberikan
perhatian besar terhadap keberadaan sanksi sosial, sebagai sebuah aturan yang
mengikat norma membutuhkan sebuah sanksi yang akan memaksa seluruh masyarakat
melaksanakan nilai yang terkandung di dalamnya. Jika nilai dan norma tidak memiliki
sanksi maka akan hilang kemampuan mengikatnya sehingga pelanggaran dan
penyelewengan norma akan banyak terjadi. Sikap permisif masyarakat terhadap
pelanggaran perlu ditekan dan dihilangkan.
Jika semua itu berjalan lancar maka
karakter yang coba dibangun akan memiliki kemampuan untuk terus hidup karena
didukung kondisi lingkungan yang ideal.
d.
Menciptakan sebuah metode
penanaman nilai (karakter) melalui pendidikan baik formal maupun non formal.
Pendidikan formal dapat dilakukan di lembaga pendidikan sejak sekolah dasar
hingga perguruan tinggi. Pendidikan non formal dapat dilakukan di
lembaga-lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan(perusahaan) melalui diklat
atau penataran singkat sebagaimana dulu pernah dicoba dan dinilai efektif pada
masa orde baru.
4. Menyusun Visi, Misi dan
Strategi
Setelah permasalahan, formulasi dan
kelompok sasaran ditemukan maka langkah selanjutnya adalah menyusun rencana
strategis yakni menyusun visi, menjabarkannya ke dalam misi dan mewujdkannya
dengan strategi.
Hal ini penting mengingat kondisi
karakter bangsa yang semakin rusak maka diperlukan langkah komprehensif dengan
tujuan jelas untuk terbentuknya karakter bangsa (pancasila) yang unggul. Tanpa
adanya rencana strategis maka upaya kita tidak akan terarah sehingga tujuan
yang ingin dicapaipun tak akan mampu terwujud.
5. Memperkuat Aturan dan
Kelembagaan
Penguatan aturan dan kelembagaan
seyogyanya dapat dirumuskan dalam rencana strategis yang telah dibuat, akan
tetapi untuk lebih mengelaborasi penguatan aturan maka penulis menjabarkannya
secara terpisah.
Penguatan aturan dimaksud diantaranya
berkenaan dengan pendidikan berbasis
karakter bagi setiap kelompok sasaran. Sementara berkenaan dengan penguatan
kelembagaan tentunya perlu ditentukan sebuah lembaga khusus baik yang telah ada
ataupun yang akan dibentuk yang bertanggung jawab penuh terhadap pembentukan
karakter bangsa.
Penguatan yang dimaksud adalah meliputi
penguatan struktur, penguatan sumber daya manusia dan perangkat serta penguatan
dari sisi anggaran.
PENUTUP
1.
Kesimpulan
Kemajuan
suatu bangsa dan negara sangat ditentukan oleh kekuatan karakter bangsa yang
tercermin dalam perikehidupan sosial masyarakatnya. Karakter bangsa itu
tercermin dalam falsafah bangsa sebagai dasar ideologi sebuah negara.
Selanjutnya
efektifitas ideologi bangsa dalam mengarahkan kehidupan sosial masyarakat
sangat dipengaruhi oleh seberapa besar ideologi tersebut mengakar dalam
kejiwaan individu masyarakatnya.
Pancasila
sebagai ideologi bangsa faktanya merupakan ide yang relatif masih muda dan
belum mengakar dalam perikehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena untuk
memperkuat karakter pancasila dalam perikehidupan masyarakat indonesia perlu
dilakukan sebuah upaya revitalisasi pancasila bagi kehidupan bangsa Indonesia
di masa sekarang ini.
Revitalisasi
dimaksud adalah melalui pengenalan dan penanaman karakter bangsa Indonesia yang
asli (pancasila), menekan karakter negatif bangsa Indonesia dan bangsa luar
serta menanamkan karakter positif bangsa luar sehingga akan tercipta sebuah
karakter bangsa yang unggul.
Langkah
untuk melakukan revitalisasi dimaksud harus dilaksanakan secara komprehensif
dan sistematis melalui langkah-langkah:
1.
Menganalisa permasalahan Karakter Bangsa;
2.
Menyusun Formulasi Karakter Bangsa
3.
Menyusun Kelompok Sasaran;
4.
Menetapkan Metode;
5.
Menyusun Visi, Misi dan Strategi;
6.
Penguatan Aturan dan Kelembagaan.
Catatan penting dalam melakukan revitalisasi tersebut adalah kita harus
belajar dari kesalahan di masa lalu yang mempergunakan pancasila sebagai alat
penguasa membungkam masyarakat. Jika hal ini terjadi maka dapat dipastikan
pembentukan karakter yang diinginkan tidak akan tercapai sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu konsep penjabaran pancasila ke dalam sebuah konsep operasional
harus disepakati bersama dan tidak merupakan hukum positif yang mengikat,
melainkan hanya digunakan sebagai acuan pembelajaran bagi pembentukan karakter
bangsa.
Perlu disadari bahwa karakter bangsa dan kondisi lingkungan
sesungguhnya saling mempengaruhi, karakter akan mempu berubah saat kondisi lingkungan
menghendaki perubahan pun sebaliknya karakter individu akan mampu mempengaruhi
kondisi lingkungan melalui pemikiran sehingga untuk dapat terciptanya karakter
yang diinginkan perlu dilakukan intervensi terhadap mindset(pola pikir
masyarakat) sekaligus kondisi lingkungan.
2.
Saran
Mengingat
pentingnya sebuah karakter bagi kemajuan
bangsa maka perlu dilakukan langkah-langkah strategis menanamkan karakteristik
positif bangsa. Pancasila sebagai karakter bangsa perlu ditanamkan secara
komprehensif dan sistematik melalui langkah-langkah yang telah disebutkan
sebelumnya, lebih lanjut untuk dapat melaksanakan seluruh upaya tersebut perlu
diciptakan pra kondisi sehingga karakter yang akan diterapkan mampu hidup dan
relevan dengan kondisi kekinian.
Penciptaan
pra kondisi tersebut dilakukan melalui :
e.
Media massa, kita sangat menyadari bahwa alat
propaganda paling efektif dewasa ini adalah media massa oleh karena itu untuk
memperluas pemahaman dan pengamalan karakter pancasila perlu dilakukan melalui
media massa baik elektronik maupun cetak.
Peran media massa sangat penting untuk
meningkatkan pelaksanaan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan hingga tingkat
terkecil yakni keluarga. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak akan mungkin
sebuah kegiatan pembinaan dilakukan hingga tingkat keluarga oleh karena
satu-satunya jalan untuk memberikan pemahaman nilai pancasila hingga ke tingkat
keluarga adalah melalui media massa;
f.
Keteladanan Pemerintah (pimpinan),
kerap kali kita melihat tauladan negatif dilakukan oleh pemimpin bangsa ini hal
tersebut secara sadar maupun tidak sadar menciptakan dampak negatif bagi
perkembangan masyarakat oleh karena itu untuk menciptakan karakter masyarakat
yang positif haruslah dimulai dari pemerintah itu sendiri;
g.
Menghidupkan kembali pranata sosial
masyarakat, nilai, norma dan sanksi sosial yang saat ini mulai luntur perlu
dihidupkan kembali hal ini bermaksud untuk menciptakan kondisi ideal dari
sebuah karakter yang diinginkan untuk dapat relevan dengan kondisi
perikehidupan sosial yang nyata karena tanpa ada sebuah kondisi ideal maka
karakter yang telah terbangun akan mampu rusak oleh lingkungan.
Untuk hal ini penulis memberikan
perhatian besar terhadap keberadaan sanksi sosial, sebagai sebuah aturan yang
mengikat norma membutuhkan sebuah sanksi yang akan memaksa seluruh masyarakat
melaksanakan nilai yang terkandung di dalamnya. Jika nilai dan norma tidak
memiliki sanksi maka akan hilang kemampuan mengikatnya sehingga pelanggaran dan
penyelewengan norma akan banyak terjadi. Sikap permisif masyarakat terhadap
pelanggaran perlu ditekan dan dihilangkan.
Jika semua itu berjalan lancar maka
karakter yang coba dibangun akan memiliki kemampuan untuk terus hidup karena
didukung kondisi lingkungan yang ideal.
h.
Menciptakan sebuah metode
penanaman nilai (karakter) melalui pendidikan baik formal maupun non formal.
Pendidikan formal dapat dilakukan di lembaga pendidikan sejak sekolah dasar
hingga perguruan tinggi. Pendidikan non formal dapat dilakukan di
lembaga-lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan(perusahaan) melalui diklat
atau penataran singkat sebagaimana dulu pernah dicoba dan dinilai efektif pada
masa orde baru.
DAFTAR
PUSTAKA
1.
Mu’in Fatchul, 2011, Pendidikan
Karakter (konstruksi Teoritik dan Praktek) Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.
2.
Khalid, Muh Khalid. 2006. Mengenal Pola
Kepemimpinan Umat dan Karakteristik Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh
Muhyadin Syaf dkk, Bandung. Penerbit Diponegoro;
3.
Dokumen Kurikulum
2013, 2012 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
4.
Ahmad Ainun Nadjib,
2012, Membangun Karakter Bangsa Melalui Dunia Pendidikan (http://najibipnu.blogspot.com/2012/07/membangun-karakter-bangsa-melalui-dunia.html)
diakses tanggal 19 Pebruari 2014.
5.
Rifa Rofifah, 2013, Memperbarui
Kurikulum Berbasis Karakter (http://berita.upi.edu/2013/04/03/memperbarui-kurikulum-berbasis-karakter)
diakses Tanggal 19 Pebruari 2014;
6.
Membangun Peradaban Bangsa dengan
Pendidikan Berkarakter (http://pks.psikologi.unair.ac.id/coretan-kami/membangun-peradaban-bangsa-dengan-pendidikan-berkarakter-moral/)diakses
tanggal 19 Pebruari 2014;
7.
Peran pendidikan kewarganegaraan dalam membentuk
karakter generasi muda (http://www.academia.edu/3389098/Peran_pendidikan_kewarganegaraan_dal_membentuk_karakter_generasi_muda)
diakses tanggal 19 Pebruari 2014;
8.
Pentingnya Pendidikan Karakter
untuk Generasi Muda di Era Globalisasi (http://miftarohmah.blogspot.com)
(diakses tanggal 19 Pebruari 2014);
No comments:
Post a Comment