Sahabat, postingan ini lahir dari
pengalaman segar yang Saya alami kemarin siang tepatnya hari senin 27 Juli 2015,
saat Saya untuk pertama kalinya bertemu muka dengan dua orang berkebangsaan jepang
di Kantor Saya, Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Garut yang terletak
di jalan Patriot Nomor 10A Garut. Sebuah pengalaman yang mengukuhkan pendapat
Saya tentang banyak hal yang perlu kita pelajari dari karakter unggul
orang-orang negeri matahari terbit itu.
Ceritanya seperti ini sahabat,
tepat satu hari sebelumnya, minggu 26 Juli 2015, Saya mendampingi satu orang
pejabat dari Badan Kesatuan Bangsa dan politik Propinsi Jawa Barat untuk
melakukan pemantauan terhadap aktifitas orang asing tepatnya orang jepang di wilayah
Kabupaten Garut.
Orang jepang tersebut disebutkan
adalah merupakan jurnalis dari salah satu saluran televisi terkemuka di sana,
NHK, yang sedang melakukan syuting film dokumenter tentang salah satu binatang
dilindungi di Indonesia yaitu Slowloris atau orang Indonesia menyebutnya Kukang,
di salah satu desa di Kecamatan Cisurupan Kabupaten Garut.
Awalnya Saya merasa malas harus
mengorbankan hari minggu Saya untuk melaksanakan tugas yang sesungguhnya di
luar tupoksi Saya itu. Akan tetapi karena itu perintah, tak ada yang dapat Saya
lakukan selain taat. Maka berangkatlah Saya bersama orang propinsi dan salah
satu rekan yang membidangi urusan orang asing, ke desa yang telah Saya sebutkan
itu.
Kurang lebih pukul 11 siang kami
sampai di tempat tujuan. Setelah berkoordinasi dengan salah seorang petugas
desa kamipun diantarkan menuju lokasi dimana orang jepang tersebut melakukan
kegiatannya. Akan tetapi alih-alih
bertemu dengan orang jepang yang kami harapkan, ternyata telah hadir di sana
orang asing lain yang tidak kami ketahui. Mereka adalah 4 orang berkebangsaan
Inggris yang sedang melakukan penelitian terhadap binatang yang sama. Dari pada
pulang dengan tangan hampa, kami memutuskan untuk sekaligus memantau juga
kegiatan orang Inggris tersebut.
Melalui wawancara dengan bahasa
Inggris alakadarnya, saya mengetahui bahwa kegiatan penelitian ini telah
dilakukan berulang kali. Beberapa waktu sebelumnyapun telah banyak orang asing
yang melakukan penelitian yang sama di tempat itu. Satu tahun sebelumnya,
datang ketempat itu para mahasiswa dari Amerika. Satu tahun sebelumnya dari
australia dan satu tahun sebelumnya lagi dari beberapa negara lainnya. Ternyata
kami kecolongan dalam hal ini, karena tidak mengetahui adanya aktifitas orang
asing di wilayah kami selama kurun waktu 4 tahun itu.
Satu petugas desa yang menyertai
kami pada saat itu membenarkan informasi tersebut, dan beliaupun memohon maaf
kepada kami karena tidak pernah melaporkan keberadaan orang asing di wilayahnya
kepada kami. Tapi biarlah karena menurut Saya toh itu bukan semata kesalahan
pemerintah desa, lebih jauh lagi hal ini menunjukkan kurangnya koordinasi yang
kami lakukan selama ini dengan pihak desa maupun kecamatan. Untuk mengatasi hal
itu kamipun menjelaskan kepada pihak desa dan beberapa orang di sana yang
menjadi fasilitator keberadaan orang asing, untuk senantiasa berkoordinasi
dengan kami perihal keberadaan orang asing di wiliayahnya.
Karena gagal bertemu dengan orang
jepang yang kami harapkan, maka kamipun menyampaikan kepada fasilitator kegiatan
yang ternyata adalah orang pribumi, untuk membawa orang jepang tersebut
menghadap kami di kantor dengan membawa dokumen imigrasi yang mereka miliki,
esok hari.
Keesokan harinya, tepatnya Senin
27 Juli 2015 Pak Dendi ,fasilitator yang kami temui itu datang bersama tiga
orang yang sekilas mata saja bisa saya pastikan bahwa mereka adalah orang-orang
jepang yang dimaksud. Setelah saling menyapa dan bersalaman Saya mempersilakan
mereka masuk ke ruangan Saya.
Sedikit berbincang Saya
mengetahui bahwa ketiga orang tersebut adalah 2 orang berkebangsaan jepang dan
satu orang adalah WNI keturunan jepang yang berada di sana sebagai pemandu. 2
orang berkebangsaan jepang tersebut dua-duanya laki-laki, sementara pemandunya
adalah seorang perempuan jepang yang cukup lama tinggal di Bali dan kini telah
memiliki kewarganegaraan Indonesia.
Selama perbincangan, benak Saya
berfikir ini adalah kesempatan bagus untuk melatih Bahasa Inggris Saya, kapan
lagi ketemu orang asing? Pikir Saya. Dari cerita teman Saya yang pernah belajar
di negeri Jepang Saya tahu bahwa bahasa inggris adalah bahasa nomor dua di
jepang. Selain itu NHK adalah program televisi internasional, jadi jurnalis di
NHK pastilah pasih berbahasa inggris.
Maka mulailah Saya berbincang
menggunakan bahasa inggris yang cukup amburadul itu. Dari raut muka mereka
sepertinya mereka mengerti bahasa Saya, tapi alih-alih menjawab dengan bahasa
inggris, mereka melihat kearah pemandu mereka lantas mulai menjawab dengan
bahasa jepang. Sebuah situasi yang sedikit memalukan bagi Saya, karena sungguh
mereka sebenarnya bisa menjawab balik pertanyaan Saya dengan menggunakan bahasa
inggris, tapi mereka tidak melakukannya.
Terus situasi itu berulang kali
terulang, Saya bertanya kepada mereka dengan bahasa internasional dan mereka menjawab
dengan menggunakan bahasa jepang lalu mempersilakan sang pemandu
menerjemahkannya. Begitupun saat Saya mempertemukan mereka dengan pimpinan
saya, Sekretaris Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Garut. Mereka
sadar bahwa diantara kami ada Saya dan Pak Dendi yang sedikit-sedikit mengerti
bahasa inggris, tapi mereka bersikukuh saja menggunakan bahasa jepang.
Setelah seluruh dokumen terpenuhi
dan tidak ada lagi urusan yang perlu diperbincangkan, kamipun mempersilakan
mereka melanjutkan aktifitas mereka. Setelah mengantar mereka hingga ke depan
gerbang kantor, dari belakang Saya memandangi pundak mereka yang sedikit demi
sedikit menjauh dari pandangan. Langkah mereka begitu cepat layaknya jepang
kebanyakan dan tidak lama kemudian menghilang di balik pintu gerbang tembok
Badan Kesatuan Bangsa dan Politik Kabupaten Garut. Sungguh pribadi yang
mengagumkan gumam Saya.
Benar ternyata apa yang dikatakan
oleh sahabat Saya, bahwa orang jepang memiliki kebanggan dan ego yang sangat
tinggi atas bangsanya. Dalam urusan bahasa Saja mereka tidak pernah mau
menggunakan bahasa lain selama ia memiliki kesempatan menggunakan bahasanya
sendiri.
Kondisi sebaliknya sering kita
temui pada pribadi kita, orang Indonesia. Kita selalu bangga akan apapun yang
datang dari luar diri kita. Menggunakan produk orang asing, berbahasa orang
asing, berbudaya orang asing dan bergaya seperti orang asing selalu terlihat
keren bagi kita orang Indonesia. Saat itulah kadang Saya merasa sedih.
Kebanggaan terhadap bahasa induk
terkesan sepele sahabat, tapi sungguh ia merupakan sesuatu yang sangat besar,
karena bahasa bukanlah sekedar alat komunikasi melainkan ia adalah juga
refresentasi dari nilai dan kebijaksanaan sang empunya. Bangga terhadap bahasa
berarti bangga terhadap nilai dan kebuayaan yang terkandung di dalamnya.
Sebuah seminar kebudayaan lokal
yang kami selenggarakan di Badan Kesatuan Bangsa beberapa waktu lalu
mengukuhkan teori itu. Bahasa bukanlah alat pengantar pesan antara komunikan
dan komunikator semata tetap lebih jauh di dalamnya terkandung kearifan dan karakter
si pemilik bahasa. Dalam bahasa terkandung pepatah, peribahasa dan sifat yang
original yang dimiliki sang pengantar bahasa itu dan tidak dimiliki oleh orang
lain.
Untuk lebih memperjelas, coba
sahabat artikan dengan bahasa inggris “ringan sama dijinjing berat sama
dipikul” kedalam bahasa inggris! Lalu resapi maknanya. Kekuatan makna dari
sebuah peribahasa hanya akan mampu dirasakan saat peribahasa itu dikatakan
dengan bahasa aslinya. Meskipun mengkin peribahasa di atas dapat diterjemahkan
ke dalam bahasa apapun akan tetapi kekuatan maknanya tidak akan dapat
mengalahkan makna saat peribahasa itu diucapkan dengan bahasa induknya.
Dalam bahasa Sunda atau bahasa
daerah kekuatan makna itu akan sangat kuat, dan Saya tidak yakin bahwa satu
peribahasa dalam bahasa daerah akan memiliki padanan dengan bahasa lainnya.
Dalam bahasa Sunda kita sering
mendengar, “berebet lumpat” atau “torojol
datang”, silahkan sahabat terjemahkan ke dalam bahasa lain. Pastilah tidak akan
sahabat temukan, karena originalitas bahasa itu mutlak.
Bahasa adalah representasi dari
karkater sebuah masyarakat. Hilangnya bahasa berarti hilangnya karakter. Oleh
karena itulah seyogyanya kita belajar banyak dari “ego” orang jepang dan
banggalah terhadap bahasa kita sendiri.
Demikian sahabat, semoga menjadi
manfaat bagi semuanya. Amiin
No comments:
Post a Comment