Wednesday, January 15, 2014

MENGOPTIMALKAN PERAN UNSUR KEWILAYAHAN DALAM RANGKA MENINGKATKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN



MENGOPTIMALKAN PERAN UNSUR KEWILAYAHAN DALAM RANGKA MENINGKATKAN PERCEPATAN PEMBANGUNAN

Unsur kewilayahan sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2003 dan PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah adalah Kecamatan dan Kelurahan. Sebagai sebuah perangkat daerah organisasi ini memiliki kewenangan berkenaan dengan urusan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan di wilayahnya. selain itu Camat sebagai pemimpin kecamatan mendapatakan kewenangan melalui pelimpahan sebagian kewenangan bupati.

Selain kedua organisasi sebagaimana PP Nomor 8 Tahun 2003 tersebut, unsur kewilayahan lain yang setipe tapi memiliki status yang berbeda adalah Desa atau Pemerintah Desa. Keberadaan desa dibedakan dengan kelurahan mengingat statusnya sebagai daerah otonom asli. 

1.       Urgensi Kecamatan, Kelurahan dan Desa
Disadari maupun tidak kecamatan dan kelurahan serta desa adalah sebuah perangkat daerah yang paling dekat dengan “konsumen” pemerintah yakni rakyatnya, sehingga keberadaannya sangat menentukan penilaian rakyat terhadap pemerintah. Atau bahkan sebagian orang memandangnya sebagai etalase pemerintahan. Sebagaimana sebuah etalase keduanya berfungsi sebagai pintu pertama berbagai kebijakan pelayanan, pemerintahan maupun pemberdayaan dari pemerintah kepada rakyatnya .

Meskipun status kecamatan dan kelurahan dengan desa berbeda akan tetapi arti penting ketiganya relatif sama yakni sebagai:

1.       Ujung tombak pelaksanaan kebijakan;
2.       Ujung tombak Pelayanan;
3.       Ujung Tombak Pemberdayaan; dan
4.       Ujung tombak pembangunan.

Mengingat arti penting tersebut maka sudah seyogyanyalah pemerintah mampu mengoptimalkan perannya untuk meningkatkan percepatan pembangunan daerah dan lebih luas lagi nasional.


2.       Kondisi Faktual Keberadaan Unsur Kewilayahan

Meskipun sebagian besar kita sudah sepakat tentang urgensi unsur kewilayahan sebagaimana saya sebutkan sebelumnya, akan tetapi dalam tataran pelaksanaan masih sangat sedikit pemerintah daerah yang konsern terhadap pemberdayaan organisasi ini. Kecamatan dan Kelurahan sejauh pengamatan saya masih diperlakukan sebagai organisasi yang relatif kurang penting bahkan sebagian pemerintah daerah menempatkannya sebagai “tempat pembuangan” bagi beberapa pegawai yang dianggap kurang potensial.

Begitupun dengan desa, statusnya sebagai daerah otonom asli memberikan alasan bagi pemerintah untuk tidak atau belum melakukan pemberdayaan optimal terhadap pemerintah desa. Jikapun ada maka sifatnya selalu bersifat politis. Untuk mendulang suara karena posisi kepala desa sebagai tokoh masyarakat yang berpengaruh atau hanya sebagai jargon belaka “membangun dari desa”, sementara tataran konsep dan pelaksanaan belum mampu secara efektif meningkat kemampuan desa membangun wilayahnya sendiri.
Hal tersebut dapat kita lihat dari beberapa hal diantaranya:

1.       Kualitas dan Kuantitas pegawai yang relatif rendah;
2.       Belum dilaksanakannya pembinaan kecamatan, kelurahan dan desa yang terkonsep dan efektif;
3.  Kebijakan pelimpahan kewenangan bupati kepada camat yang berjalan setengah hati. Melimpahkan kewenangan tanpa disertai penganggaran atas kewenangan tersebut;
4.       Belum disusun sebuah konsep penempatan dan pemberdayaan pegawai di tingkat kecamatan dan kelurahan.
5.       Pun dengan pembinaan pegawai di tingkat desa;

3.         Kebijakan yang selama ini dilaksanakan terhadap unsur kewilayahan

Meskipun pemberdayaan unsur kewilayahan belum dilaksanakan secara optimal, akan tetapi hal tersebut tidak berarti belum ada upaya dari pemerintah untuk melaksanakannya. Berdasarkan pengamatan penulis ada beberapa upaya dari pemerintah untuk melaksanakan pemberdayaan organisasi dimaksud. Beberapa upaya tersebut diantaranya :

1.       Melalui peraturan perundang-undangan kecamatan, kelurahan dan desa;
2.       Berbagai stimulan pendanaan kepada pemerintah desa;
3.       Termasuk disahkannya Undang-Undang tentang Pemerintahan Desa yang baru.

Tanpa mengurangi rasa hormat saya terhadap berbagai upaya permerintah memberdayakan kecamatan, kelurahan dan pemerintah desa yang selama ini telah berjalan, saya memandang kebijakan selama ini belum mampu meningkatkan keberdayaan unsur-unsur kewilayahan tersebut.

Keberadaan kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat daerah memberikan tanggung jawab umum dan teknis pemberdayaan kedua organisasi tersebut di tangan pemerintah daerah, sehingga kebijakan pemberdayaan yang efektif terhadap kedua organisasi ini menjadi tanggung jawab pemerintah daerah.

Faktanya sebagian besar pemerintah daerah belum mempu menyelenggarakan pemberdayaan organisasi kecamatan dan kelurahan secara optimal. Unsur kewilayahan ini belum ditempatkan sebagai organisasi strategis untuk meningkatkan pembangunan di wilayahnya.

Kebijakan pelimpahan kewenangan bupati terhadap camat sering kali sebatas formalitas semata tanpa sebuah kerangka konsep terukur untuk meningkatkan kinerjanya. Belum terlaksana pelimpahan kewenangan yang mempermudah urusan daerah dan mempercepat pelayanan, memangkas prosedur dan mengefektifkan pencapaian tugas pemerintah daerah.

Salah satu yang menjadi kasus umum adalah keterkaitan antara musrenbang kecamatan yang berisi berbagai kegiatan yang diharapkan rakyat di tingkat kecamatan nyatanya sedikit yang terealisasi dalam Anggaran Pendapatan dan Delanja Daerah.

Hal ini menunjukkan bagaimana kecamatan maupun kelurahan tidak diposisikan sebagai organisasi yang berwenang menentukan kebijakan di wilayahnya.

Berkenaan dengan desa saya memandang banyaknya anggaran yang diturunkan ke tingkat desa belum diatur dengan mekanisme yang baku yang menjamin asas keadilan. Tidak semua desa mendapatkan porsi anggaran pembangunan yang sama terutama anggaran di luar APBDES. Selain itu banyaknya jumlah kucuran anggaran kepada desa baik yang bersumber dari pusat maupun daerah tidak berbanding lurus dengan peningkatan kapasitas pemerintah desa. 

Kucuran anggaran tersebut saya pandang hanya bersifat politis semata, membangun fisik tanpa membangun kapasitas sumber daya dan lembaga desa. Sehingga sangat tidak mengherankan jika kapasitas kelembagaan dan sumber daya pemerintah desa berjalan stagnan. Perangkat desa sering kali diisi oleh pegawai yang relatif memiliki usia di atas 50 tahun atau paling tidak dengan kemampuan pendidikan yang sangat terbatas.

Berdasarkan hal yang saya sebutkan di atas maka saya memandang bahwa kebijakan pemberdayaan unsur kewilayahan yang selama ini dilaksanakan oleh pemerintah terutama pemerintah daerah belum menyentuh substansi utama pemberdayaan organisasinya.

Logikanya jelas untuk meningkatkan pembangunan masyarakat maka kita harus meningkatkan kemampuan organisasinya. Dengan Organisasi (Kecamatan, Kelurahan, dan Desa) yang berdaya  maka mereka akan mampu mengembangkan cara dan metode untuk meningkatkan pembangunan di wilayahnya.

4.         Permasalahan Kecamatan, Kelurahan dan Desa

Permasalahan yang kerap kali dihadapi oleh Kecamatan, Kelurahan dan Desa diantaranya :
1.       Terbatasnya Sumber Daya Manusia Organisasi;
2.       Terbatasnya Kewenangan Organisasi;
3.       Terbatasnya Anggaran Organisasi;
4.       Terbatasnya sarana dan pra sarana;
5.       Kewenangan yang tumpang tindih dengan Instansi lain (UPTD dan UPTB);

5.         Pembahasan

Dalam rangka meningkatkan keberdayaan unsur kewilayahan maka intervensi terhadap berbagai permasalahan di atas mutlak harus dilakukan.

5.1.   Terbatasnya Sumber Daya Manusia
Sahabat yang pernah atau saat ini sedang melaksanakan tugas di organisasi kewilayahan pasti mengetahui persis bagaimana sangat terbatasnya sumber daya manusia yang dimiliki kecamatan, kelurahan terlebih desa.
Kualitas dan Kuantitas pegawai di unsur kewilayahan sangatlah memprihatinkan, dari status kepegawaian, latar belakang pendidikan, golongan, maupun kompetensi yang dimiliki. Sangat wajar jika kita temui sentralisasi pekerjaan hanya pada satu atau dua orang pegawai.

Dari pelaksana operator, arsiparis, penyusun laporan, bendahara hingga tugas membantu kepentingan pimpinan sering kali dilaksanakan  oleh satu orang yang sama. Sementara pegawai lainnya tidak memiliki tugas pekerjaan yang jelas karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuannya.

Pejabat struktualpun demikian meskipun tidak separah tataran pelaksana, para pejabat struktural di lingkungan kecamatan maupun kelurahan sering kali kurang mendapatkan pengmbangan kompetensi, sehingga cenderung stagnan bahkan tersingkirkan dari kancah pengembangan karir di organisasi pemerintah yang lebih luas.

Kondisi di desa saya rasakan lebih parah, dengan diisi kebanyakan pegawai yang relatif sudah lanjut usia dan kemampuan yang serba terbatas, menyebabkan berbagai kucuran anggaran yang begitu besar dari pemerintah tidak dikelola secara efektif. Anggaran tersebut sering kali hanya meningkatkan pembangunan fisik tanpa berimbas terhadap pemberdayaan masyarakat yang sesungguhnya merupakan tulang punggung konsep pemerintahan dewasa ini.

Adapun salah satu kebijakan yang dianggap cukup berhasil dalam pemberdayaan masyarakat desa dan kelurahan adalah PNPM, memang kebijakan ini saya pandang sebagai kebijakan yang efektif dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Akan tetapi ada sesuatu yang perlu saya kritisi yakni berkaitan dengan keikutsertaan pemerintah desa dan kelurahan yang sangat terbatas.

Asumsi saya adalah kekurangpercayaan pemerintah terhadap lembaga pemerintah desa dan kelurahan. Keberadaan pengelola di tingkat desa seyogyanya dapat dilaksanakan oleh pemerintah desa dan kelurahan akan tetapi karena kekurangpercayaan ini menyebabkan pemerintah memberikan kewenangan tersebut kepada lembaga mandiri semisal UPK di tingkat kecamatan maupun UPT di tingkat desa. (mohon maaf jika nomenklaturnya keliru).

Oleh karena berbagai permasalahan tersebut serta arti penting keberadaan kecamatan, kelurahan dan desa sebagaimana saya sebutkan sebelumnya maka upaya pengembangan kapasitas sumber daya aparatur kecamatan, kelurahan dan desa sangatlah dibutuhkan.

Pengembangan Sumber Daya Manusia di tingkat kecamatan dan kelurahan dapat dilakukan melalui mutasi pegawai dari beberapa instansi yang dinilai gemuk ke kecamatan dan kelurahan. Hal teresbut tentunya disertai dengan pelaksanaan pembinaan yang sudah ada oleh instansi berwenang (BKD, Diklat, dan Bagian Pemerintahan Umum Setda).

Khusus untuk desa selain sekretaris desa yang berstatus PNS maka pengembangan aparatur lainnya harus dilakukan melalui pembinaan oleh kecamatan dan BPMPD. Kecamatan sebagai organisasi yang memiliki kewenangan pembinaan teknis maka sebagaimana pernyataan sebelumnya peningkatan kapasitas pegawai kecamatan mutlak harus dilakukan. Sehingga kerangka logisnya sangat jelas dengan pemberdayaan kecamatan maka pembinaan desa juga akan berjalan dengan baik.

5.2.   Keterbatasan Kewenangan

Kewenangan Camat yang terbatas ini adalah konsekuensi dicabutnya kewenangan camat sebagai kepala wilayah oleh UU Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian dirubah menjadi UU 32 Tahun 2004. Meskipun dalam ketentuan UU 32 Tahun 2004 disebut camat memiliki kewenangan koordinasi seluruh kegiatan di wilayah kerjanya, akan tetapi dalam tataran implementasi kewenangan tersebut sulit direalisasikan.

Tanggung jawab para kepala UPTD di kecamatan yang berjalan hirarki kepada kepala SKPD di tingkat lebih tinggi menyebabkan koordinasi ini tidak berjalan efektif. Seringkali berbagai kegiatan dinas teknis tersebut tidak sejalan dengan kebijakan dan keinginan camat.

Hal ini sering kali menimbulkan disharmoni antara camat dan kepala uptd secara pribadi maupun antara konsep pembangunan kecamatan dengan kegiatan yang dilaksanakan oleh UPTD teknis. Ketidaknyambungan antara dokumen hasil Musrenbang tingkat kecamatan dengan pelaksanaan di lapangan adalah salah satu buktinya.

Padahal sebagai unsur pemerintahan dan kemasyarakatan yang paling dekat dengan masyarakat maka asumsinya camat sangat memahami betul kebutuhan masyarakat di wilayahnya. tanpa adanya koordinasi yang efektif antara camat dengan dinas terkait maka tidak menutup kemungkinan kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah daerah maupun pusat tidak sejalan dengan keinginan masyarakat.

Oleh karena itu untuk memecahakan permasalahan tersebut  saya kira kewenangan camat mestilah diperkuat. Pelimpahan kewenangan yang obyektif dan sesuai dengan karakteristik wilayah kecamatan maupun kelurahan sangat dibutuhkan. Pemerintah daerah yang baik mestilah menyingkirkan kepentingan sesaat beberapa Dinas dan Badan serta lembaga teknis lainnya yang memungkinkan dapat dikelola oleh kecamatan untuk diserahkan sepenuhnya kepada camat.

Berkenaan dengan lurah konsepnya sejalan dengan pelimpahan kewenangan bupati kepada camat. Camat harus secara estafet menyerahkan sebagian kewenangannya ketingkat kelurahan yang sesuai dengan karakteristik kelurahan yang ada.

Memang terdapat beberapa kewenangan yang tidak dapat dilimpahkan kepada unsur kewilayahan, seperti kewenangan berkaitan dengan bidang politik dalam negeri, kewenangan yang menyangkut isu dan permasalahan daerah, kewenangan terkait investasi daerah  dan kewenangan-kewenangan lainnya. 

Tetapi selepasnya, beberapa kewenangan sesungguhnya dapat dibagi ke dalam kewenangan unsur wilayah dan kewenangan pusat pemerintah daerah melalui SKPD terkait. Kewenangan bidang infrastruktur misalnya, pemeliharaan jalan kabupaten harus menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten melalui dinas terkait tapi pemeliharaan jalan desa dan kemungkinan jalan kecamatan itu sesungguhnya dapat dilimpahkan kewenangannya kepada camat.

Lebih lanjut, coba sahabat bayangkan jika seluruh kecamatan dapat berperan sebagaimana pemerintah daerah. Dia dapat merencanakan pengembangan wilayahnya, dia dapat melaksanakan pembangunan yang berkelanjutan, dan dia dapat mengukur tingkat efektifitas pencapaian tujuannya maka tentunya kondisi ini akan membuat pembangunan berjalan lebih cepat.

Pusat-pusat perekonomian baru akan dapat tercipta di masing-masing kecamatan. Pemberdayaan masyarakat dan kelompok masyarakat akan berjalan secara lebih efektif dan pemerintah daerah hanya tinggal duduk manis melihat perkembangan tersebut. 

Pemerintah daerah hanya perlu menyusun sebuah konsep pembangunan yang terintegrasi, menentukan rencana tata ruang wilayah yang berkeadilan dan sesuai dengan karakteristik kecamatan masing-masing. Selanjutnya biarkan kecamatan mengembangkan potensinya masing-masing dengan optimal.

Jika terdapat penyimpangan pemerintah daerah hanya perlu menegakan aturan. Jika terjadi kebingungan pemerintah daerah hanya perlu melakukan pembinaan dan supervisi melalui SKPD terkait.

Hal ini juga memberikan kemungkinan untuk penyatuan UPTD ke dalam wadah organisasi kecamatan, meskipun tentunya hal ini belum memiliki dasar hukum yang kuat. 

5.3.             Terbatasnya Anggaran Organisasi;

Meskipun tidak terjadi di seluruh pemerintah daerah, tetapi beberapa pemerintah daerah terbukti masih sangat membatasi pengucuran anggaran terhadap organisasi kecamatan dan kelurahan. Hal ini adalah dampak dari pandangan Ășnder estimate terhadap keberadaan organisasi ini. 

Meskipun sebagian mereka sepakat terhadap urgensi keberadaan kecamatan dan kelurahan akan tetapi besarnya dorongan penguasaan anggaran yang selama ini berada di pusat pemerintahan, menyebabkan kewenangan yang telah dilimpahkan bupati kepada camat tidak disertai dengan penganggarannya.

Atau dalam beberapa kasus kewenangan yang telah dilimpahkan ditarik kembali untuk “melindungi” kemungkinan anggaran yang harus diserahkan kepada kecamatan maupun kelurahan. Untuk menutupinya, mereka berargumen bahwa kapasitas organisasi kecamatan dan kelurahan belum mampu mengelolanya.

Padahal sesungguhnya kemampuan tersebut dapat dikembangkan melalui pembinaan, supervisi atau bahkan melalui mutasi pegawai. 

Anggaran bagaimanapun juga adalah bahan bakar sebuah organisasi tanpa ada anggaran yang memadai maka mustahil kita dapat mencapai tujuan secara optimal. Sehingga jika memang kita sepakat bahwa ujung tombak pemerintahan adalah unsur wilayah maka sudah seyogyanya kita legowo menyerahkan sedikit anggaran yang memungkinkan untuk diserahkan kepada organisasi kecamatan maupun kelurahan.

5.4.   Terbatasnya sarana dan pra sarana

Kembali berdasarkan pengalaman penulis yang telah beberapa kali ditempatkan di unsur kewilayahan kecamatan dan kelurahan, maka saya sangat merasakan betul bagaimana sangat terbatasnya sarana dan pra sarana yang dimiliki oleh kecamatan, kelurahan pun desa. 

Keterbatasan pra sarana tersebut merupakan imbas dari keterbatasan anggaran yang selama ini dihadapi oleh ketiga organisasi ini.  Hal ini memberikan implikasi terhadap rendahnya kualitas pelayanan, minimnya kompetensi pegawai yang memang sangat membutuhkan sarana untuk meningkatkan kapasitasnya dan tentunya rendahnya kinerja organisasi.

Untuk meningkatkan pelayanan maka berbagai fasilitas pelayanan seyogyanya disediakan untuk terciptanya sebuah pelayanan prima terhadap masyarakat. Untuk meningkatkan kemampuan, pegawai membutuhkan sarana semisal, jaringan internet, sarana komunikasi untuk konsultasi yang memadai dan lain sebagainya. Serta untuk mencapai efektifitas organisasi optimal maka perangkat komputer, perangkat penunjang kegiatan serta sarana mobilitas memadai untuk mencapai medan kewilayahan perlu disediakan.

5.5.   Kewenangan yang tumpang tindih dengan instansi lain

Pelimpahan kewenangan Bupati kepada camat yang tidak kuat sering kali menyebabkan terjadi tumpang tindih kewenangan antara camat dengan perwakilan dinas dan lembaga teknis di wilayah kecamatannya. Hal ini seyogyanya dapat terselesaikan mengingat camat memiliki kewenangan mengkoordinasikan berbagai kegiatan di wilayahnya.

Akan tetapi masih kuatnya ego sektoral masing-masing instansi menyebabkan koordinasi tidak berjalan secara optimal. Dan akhirnya camat sebagai pimpinan kecamatan hanya bertindak sebagai penonton dan pihak yang dipersalahkan ketika terjadi permasalahan dalam pelaksanaan kegiatan instansi.

Sungguh hal tersebut sangatlah tidak adil, sebagai orang yang relatif tidak berwenang menentukan berbagai kegiatan instansi akan tetapi harus menyelesaikan permasalahan yang lahir oleh kebijakan instansi tersebut.

Hal tersebut dapat diselesaikan hanya jika camat diberikan kewenangan yang kuat untuk mengelola seluruh kegiatan pemerintah daerah. Meskipun dilaksanakan oleh Instansi teknis lainnya maka peran camat haruslah diperhatikan sebagai bahan pertimbangan utama melaksanakan kegiatan dimaksud. 

Hal ini juga termasuk di dalamnya berbagai kemungkinan kegiatan yang nanti akan dilaksanakan oleh dinas dan lembaga teknis haruslah sesuai dengan rencana pembangunan yang telah disusun oleh kecamatan dan masyarakat melalui musrenbang.

6.       Kesimpulan 

Diakui maupun tidak saya yakin sahabat semua sepakat dengan saya, bahwa ujung tombak pelaksanaan tugas pemerintah baik pusat maupun daerah berada di tangan unsur kewilayahan. Oleh karena itu pemberdayaan unsur kewilayahan sangatlah penting terutama dalam rangka meningkatkan efektifitas pembangunan.

Pelaksanaan pembangunan yang terpusat dari daerah akan berjalan sangat lambat mengingat rentang kendali dan pemahaman atas kebutuhan masyarkat di wilayah yang relatif lebih rendah dibandingkan pemahaman unsur kewilayahan. Selain itu tertumpuknya berbagai kewenangan di tingkat pusat pemerintahan akan menyulitkan pemerintah daerah mengelolanya.

Oleh karena itu sudah seyogyanya pemerintah daerah membagi kewenangannya dan tidak terlalu mempersulit diri sendiri dengan mengelola kewenangan yang sebenarnya dapat dilimpahkan kepada camat. Bukankah saat ini kita sudah berada dalam paradigma pemerintahan yang efektif, yang steering arther than rowing, yang memangkas prosedur dan yang mendekatkan pelayanan terhadap masyarakat?

Pemberdayaan unsur kewilayahan adalah jawabannya.

Pemberdayaan kewilayahan tersebut bukan hanya berarti pemberian kewenangan yang luas dan pemberian anggaran yang sebesar-sebesarnya semata. Lebih dari itu semua peningkatan kapasitas sumber daya manusia dan peningkatan sarana prasarana penunjang adalah lebih utama. Pemberian anggaran besar tanpa didukung oleh SDM yang kompeten adalah sebuah penghamburan. Langkah tersebut tidak akan memberikan efek maksimal meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Jikapun boleh saya menyarankan maka seluruh kebijakan pemberdayaan kecamatan, kelurahan dan desa harus laksanakan secara bertahap dan sistematis mulai dari  :

1.       Pemberdayaan Sumber Daya Manusia;
2.       Dilanjutkan dengan peningkatan kewenangan;
3.       Peningkatan sarana dan prasarana;
4.       Meningkatkan pembinaan, supervisi dan pengawasan;
5.       Meningkatkan kesejahteraan pegawai.

Itulah beberapa hal yang mungkin dapat kita lakukan dalam upaya meningkatkan percepatan pembangunan daerah. Poin pentingnya adalah “jika ingin capat maka haruslah dilakukan olah orang yang paling paham permasalahan dan orang yang paling dekat dengan sumber masalah. Rentang kendali yang terlalu jauh takkan mampu mempercepat pembangunan.”

Wallohu’alam bissawaf\

Daftar Pustaka silahkan downloads sahabat
PP Nomor 8 Tahun 2003 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah Di sini
PP Nomor 41 Tahun 2007 tentang Pedoman Organisasi Perangkat Daerah Di sini
PP Tentang Kecamatan Di sini
PP Tentang Kelurahan Di sini
PP Tentang Desa di sini
UU Desa yang baru, belum disahkan.Maaf ya sahabat ...

No comments:

SEBUAH BUKU TENTANG PEGAWAI NEGERI

..

terpopuler

PNS

ABDI NEGARA

ABDI MASYARAKAT