Wednesday, February 19, 2014

Membangun Karakter Bangsa dalam konteks Kekinian



I
PENDAHULUAN

1.1.   Latar Belakang
Sebagai sebuah bangsa dan negara Indonesia dinilai memiliki potensi yang teramat besar untuk dapat menjadi sebuah bangsa yang maju hal ini dapat dilihat dari :
  1. Luas wilayah seluas 5.180.053 KM2 yang sepertiganya adalah lautan dimana di dalamnya tersimpan berbagai potensi yang luar biasa menjanjikan seperti minyak bumi, gas alam, barisan terumbu karang yang indah, perikanan kelautan serta sumber daya pariwisata yang tidak ternilai harganya.
  2. Negara dengan Gugus pulau sebanyak 17.504 pulau (menurut data Tahun 2004) dan garis pantai sepanjang 54.716 KM yang berarti negara dengan garis pantai terpanjang kedua di dunia.
  3. Negara dengan 34 Propinsi 440 Kabupaten/kota, 5500 an Kecamatan dan sekitar 73.000 Desa yang menjadikan Indonesia sebagai negara dengan struktur pemerintahan salah satu yang terbesar di dunia.
  4. Letak geografis berada tepat di tengah garis Khatulistiwa yang dengan itu menyebabkan iklim hangat senantiasa meliputi wilayah negara ini sepanjang tahunnya. Kondisi ini merupakan surga bagi berbagai macam flora dan fauna, sehingga tak heran jika hampir seluruh jenis hewan dan tumbuhan dapat hidup di wilayah negeri tercinta ini.
  5. Negara dengan jumlah penduduk tidak kurang dari 250 juta jiwa yang menunjukkan bahwa negeri ini tidak akan pernah kekurangan akan sumber daya manusia.
  6. Negara dengan 300 etnis 1.340 Suku Bangsa, 546 bahasa dan sub bahasa daerah serta 6 Agama berbeda tapi dipersatukan dengan Proklamasi, Pancasila dan Falsafah Bhinneka Tunggal Ika.
  7. Negara dengan berbagai adat, budaya, norma dan etika tetapi hidup rukun dalam sebuah wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
 Meskipun begitu faktanya negara ini belum mampu memanfaatkan seluruh potensinya tersebut untuk membangun sebuah bangsa yang maju dan bersaing dengan negara lain di dunia. Salah satu indikator kemajuan negara dapat dilihat dari pendapatan per kapita masyarakatnya. berikut ini bukti bahwa negara ini masih jauh tertinggal dari bangsa lainnya :
Tabel 1.1
Pendapatan Perkapita Negara ASEAN

NO
PERINGKAT
NAMA NEGARA
PENDAPATAN PER KAPITA
TAHUN
1
6
Singapura
$ 60,900
2012
2
11
Brunei Darussalam
$ 50,500
2012
3
74
Malaysia
$ 16,900
2012
4
113
Thailand
$ 10,000
2012
5
117
Timor Leste
$ 9,500
2012
6
155
Indonesia
$ 5,000
2012
7
162
Piliphina
$ 4,300
2012
8
167
Vietnam
$ 3,500
2012
9
173
Kamboja
$ 3,000
2012
10
184
Laos
$ 2,400
2012
11
205
Myanmar
$ 1,400
2012
Sumber: CIA World Factbook 2013
Data di atas menunjukkan bahwa berdasarkan pendapatan per kapita Negara Indonesia masih tertinggal dari negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand bahkan “eks” kita Timor (Timur) Leste sekalipun.
Beberapa persoalan yang mengemuka perihal ketidakmampuan negara ini dalam membangun peradaban besar adalah tingginya tingkat korupsi, minimnya investasi, rendahnya kualitas sumber daya manusia, tingginya utang luar negeri dan ketidaksinkronan dunia pendidikan dengan dunia pekerjaan yang menyebabkan pengangguran semakin bertambah setiap tahunnya di negeri tercinta kita ini.
Persoalan-persoalan yang Saya sebutkan tersebut akhirnya mengerucut pada pentingnya pendidikan karakter bangsa hal ini disebabkan bahwa seluruh persoalan tersebut lahir karena tidak kuatnya pondasi karakter bangsa.
Korupsi lahir karena kurangnya kejujuran dan integritas pribadi terhadap negaranya, minimnya investasi dikarenakan budaya korup dan iklim investasi yang tidak kondusif, rendahnya kualitas sumber daya manusia ditengarai bukan dari sisi intelektualitas melainkan dari sisi karakter, dan tidaksinkronnya pendidikan dengan dunia pekerjaan sekali lagi hal tersebut berhubungan dengan karakter, pendidikan saat ini hanya menciptakan karakter “pencari kerja” bukan “pencipta lapangan pekerjaan”.
Ditengah badai globalisasi dan modernitas saat ini harus diakui bahwa perlahan namun pasti karakter bangsa Indonesia dewasa ini telah tercerabut dari akarnya. Hal ini dapat kita lihat dari :
1.       Pudarnya semangat ketuhanan. Korupsi, Dekadensi Moral, Tingginya kriminalitas dan Meningkatnya penyebaran Narkoba adalah buktinya;
2.       Pudarnya budaya malu. Para koruptor, Merebaknya Pornograpi dan pornoaksi  adalah buktinya;
3.       Hilangnya kesalehan sosial. Konflik antar suku bangsa, antar kampung dan antar agama adalah buktinya;
4.       Hilangnya semangat kebersamaan. Individualisme, Hedonisme,  tingginya kesenjangan kaya-miskin dan tidak berkembangnya ekonomi kerakyatan adalah buktinya.
Tentunya masih banyak bukti lain yang akurat perihal pudarnya karakter bangsa ini, oleh karena itu maka pentingnya pendidikan karakter bangsa adalah sebuah keniscayaan.


1.2.   Permasalahan
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan maka dapat kita identifikasi beberapa permasalahan terkait karakter bangsa Indonesia saat ini yaitu :
1.       Globalisasi dan Modernitas telah secara nyata mencabut karakter bangsa Indonesia yang sesungguhnya;
2.       Pancasila sebagai karakter bangsa belum dipahami dan diamalkan oleh sebagian besar rakyat Indonesia;
3.       Belum tingginya kesadaran terhadap pentingnya karakter bangsa dalam upaya meningkatkan pembangunan;
4.       Pemerintah memiliki “pobia” terhadap pembentukan karakter bangsa dikarenakan pengalaman orde pemerintahan sebelumnya yang “mempolitisasi” pembentukan karakter bangsa;
5.       Belum terdapat sebuah metode strategis dalam pembentukan karakter bangsa.

1.3.   Perumusan Masalah
Permasalahan-permasalahan yang kita hadapi dalam pembangunan karakter bangsa tentunya sangatlah kompleks, oleh karena itu untuk mempertajam pembahasan maka penulis hanya akan membahas beberapa permasalahan krusial terkait;
1.       Bagaimana arti penting pendidikan karakter bagi kemajuan suatu bangsa;
2.       Bagaimana pendidikan karakter diterapkan di negara Indonesia saat ini (Orde Reformasi).

1.4.    Tujuan
Tujuan Makalah ini adalah :
1.       Menggambarkan pentingnya pendidikan karakter bagi kemajuan suatu bangsa;
2.       Mengambarkan Konsep Pendidikan karakter diterapkan di Negara Indonesia saat ini (orde reformasi).

II
Dasar Teoritis

2.1. Pengertian Karakter dan Karakter Bangsa
2.1.1.      Pengertian Karakter
Secara etimologis karakter dapat diartikan sebagaimana disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995:445), yaitu berarti sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Dalam istilah Inggris, karakter berpadanan dengan “character” yang dalam Oxford Advace Learner’s Dictionary of Current English (2000) dapat diartikan: (1) All the qualities and features that make a person, groups of people, and places different from others (semua baik kualitas maupun ciri-ciri yang membuat seseorang, kelompok orang atau tempat berbeda dari yang lain); (2) the way the something is, or a particular quality or peature that a thing, an event or a place has (cara yang khas atau kekhasan yang dimiliki oleh sesuatu, peristiwa atau tempat); (3) strong personal qualities such as the ability to deal with difficult or dangerous situations (kualitas pribadi yang tangguh misalnya kemampuan dalam menghadapi situasi yang sulit atau berbahaya); (4) the interesting or unusual quality that a place or a person has (kualitas menarik dan luar biasa yang dimiliki suatu tempat atau orang); (5) a person, particularly an unpleasant or strange one (orang yang aneh atau tidak menyenangkan); (6) an interesting or unusual person (orang yang menarik dan luar biasa); (7) the opinion the people have of you, particularly of whether you can be trusted or relied on (pendapat khalayak tentang anda, apakah anda dapat dipercaya).
Sementara itu beberapa ahli mengemukakan pendapat tentang pengertian karakter diantaranya, Karakter yang baik menurut Maxwell (2001) lebih dari sekedar perkataan, melainkan sebuah pilihan yang membawa kesuksesan. Ia bukan anugerah, melainkan dibangun sedikit demi sedikit, dengan pikiran, perkataan, perbuatan, kebiasaan, keberanian usaha keras, dan bahkan dibentuk dari kesulitan hidup. Pusat Bahasa Depdiknas mengartikan karakter sebagai “bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen, watak”. Adapun berkarakter, adalah berkepribadian, berperilaku, bersifat, dan berwatak

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat diambil kesimpulan karakter adalah sebuah watak, sifat dan perilaku khas seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Karakter lebih lanjut ditunjukkan dalam bentuk perbuatan dan kebiasaan. Karakter baik akan tercermin dari perbuatan dan kebiasaan yang baik sebaliknya karakter buruk akan menjelma menjadi perbuatan  dan kebiasaan buruk. 

Selanjutnya berkenaan dengan proses terbentuknya karakter maka terdapat tiga teori pembentukan karakter manusia yaitu, pertama Freud dengan teori psikoanalisanya  yang memandang manusia sebagai homo volens, yakni makhluk yang perilakunya dikendalikan oleh alam bawah sadarnya.Perilaku manusia  merupakan hasil interaksi dari tiga pilar kepribadian; id, ego dan super ego, yakni komponen biologis, psikologis dan social, atau komponen hewani, intelek dan moral. 

Kedua Teori Behaviorisme yang memandang perilaku manusia  bukan dikendalikan oleh factor dalam alam bawah sadar) tetapi  sepenuhnya dipengaruhi oleh lingkungan yang nampak, yang terukur, dapat diramal dan dapat dilukiskan. Menurut teori ini manusia disebut  sebagai homo mechanicus, manusia mesin. Mesin adalah benda yang  bekerja tanpa ada motiv di belakangnya, sepenuhnya ditentukan oleh factor obyektip (bahan baker, kondisi mesin dsb). Manusia tidak dipersoalkan apakah baik atau tidak, tetapi ia sangat plastis, bisa dibentuk menjadi apa dan siapa sesuai dengan lingkungan yang dialami atau yang dipersiapkan untuknya.

Ketiga teori Kognitip yang menyatakan bahwa manusia tidak tunduk begitu saja kepada lingkungan, tetapi ia bisa bereaksi  secara aktif terhadap lingkungan dengan cara berfikir. Manusia berusaha memahami  lingkungan yang dihadapi dan  merespon dengan fikiran yang dimiliki. Oleh karena itu menurut teori Kognitip, manusia disebut sebagai homo sapiens, makhluk yang berfikir.

Ketiga teori tersebut menunjukkan perdebatan para ahli tentang faktor-faktor pembentuk perilaku atau karakter manusia, teori psikoanalisis berpendapat bahwa perilaku manusia digerakan oleh sumber daya pribadinya (alam bawah sadar) menurut teori ini pengaruh lingkungan terhadap perilaku manusia sangatlah terbatas sementara pengaruh terbesar adalah dari kepribadian manusia itu sendiri.


Teori Behaviorisme memendang sebaliknya, dalam kacamata teori ini lingkungan sangat dominan sebagai pembentuk perilaku manusia, baik-buruknya manusia ditentukan oleh lingkungannya hal tersebut karena saat dilahirkan manusia adalah mahluk yang netral tanpa cap baik ataupun buruk. 

Teori kognitif mungkin dapat dipandang sebagai perpaduan keduanya karena selain lingkungannya manusiapun dipandang dapat merespon stimulus lingkungan melalui kemampuannya berfikir.

Berdasarkan ketiga teori tersebut, penulis sependapat dengan teori kognitif yang memandang bahwa pemikiran memiliki pengaruh dalam pembentukan karakter dan perilaku dan hal tersebut sangat seimbang dengan pengaruh lingkungan. Sehingga menurut penulis faktor pembentuk karakter adalah :


      a.   Cara Berfikir (Internal)

b.      Pengalaman (traumatis) Pribadi (internal)
c.       Nilai Pribadi (internal)
d.      Etika dan nilai masyarakat (Lingkungan)
e.      Kondisi Lingkungan (lingkungan)


2.1.2.        Karakter Bangsa  

Dilandasi pengertian karakter sebagaimana disampaikan sebelumnya maka pengertian karakter bangsa dapat diartikan sebagai suatu watak, sifat dan perilaku kelompok masyarakat/bangsa yang khas dan membedakannya dengan bangsa lain. Karakter bangsa terwujud dalam bentuk budaya, adat kebiasaan, etika dan norma yang berlaku dalam kehidupan masyarakat suatu bangsa.

Sebagai sebuah konsep bersama maka karakter bangsa berdiri diatas karakter-karakter individu yang tercermin dalam perilaku sosialnya. Hubungan dengan dan antara individu dalam masyarakat akan sangat terpengaruh oleh karakter bangsa yang menjadi ciri khas masyarakatnya.
Karakter bangsa selanjutnya terbentuk berdasarkan pengaruh lingkungannya, nilai dan norma yang berlaku serta kebiasaan dan budaya yang berkembang selama periode kehidupan sosial dalam suatu bangsa.

Karakter bangsa adalah merupakan interaksi antara karakter individu dengan lingkuan sosial dan sebaliknya. Lingkungan sosial sebagaimana teori behaviorisme memberikan pengaruh terhadap karakter manusia, selanjutnya karakter manusia (melalui pemikiran sebagaimana disebutkan teori kognitif) dalam sebuah lingkungan sosial akan melakukan rekayasa terhadap kondisi sosial yang memungkinkan adanya perubahan karakter masyarakat. Ketidaksesuaian etika dan norma sosial akan dirubah sesuai dengan kondisi kekinian, faham dan pendapat umum yang berlaku dikritisi  dan direstrukturisasi sehingga sejalan dengan perubahan jaman. Begitulah seyogyanya individu dan lingkungan akan saling berinteraksi, proses ini akan terus berjalan hingga terbentuknya sebuah kondisi dan karakter ideal yang diinginkan oleh masyarakat dan lingkungan.

Indonesia sebagai sebuah bangsa pada mulanya merupakan entitas murni tanpa nilai dan norma, berikutnya berdasarkan konvensi para pendahulu menetapkan norma dan nilai kebangsaan sebagai basic standar dalam kehidupan bangsa dan negara. basic standar ini akhirnya kita kenal dengan nama Pancasila. Basic dasar ini adalah merupakan rumusan dari kebudaya, kebiasaan, nilai dan etika yang hidup dalam keseluruhan masyarakat Indonesia.

Secara operasional karakter pancasila ini adalah merupakan pengejawantahan dari sila-sila dalam Pancasila yakni:

1.       Bangsa berketuhanan;
2.       Bangsa berkemanusiaan;
3.       Bangsa bersatu dan cinta tanah air
4.       Bangsa yang bergotong royong
5.       Bangsa yang berkeadilan

Selain karakter bangsa indonesia yang pancasilais sebagaimana dikemukakan di atas para ahli menyatakan bahwa bangsa indonesia memiliki karakter negatif yang perlu diwaspadai dan diperbaiki. Beberapa pendapat ahli tersebut diantaranya, Koentjaraningrat (1974) dalam Kebudayaan, Mentalitet dan Pembangunan, menyatakan sedikitnya ada lima mentalitas negatif bangsa Indonesia: (1) meremehkan mutu; (2) cenderung mencari jalan pintas (menerabas); (3) tidak percaya diri; (4) tidak berdisiplin; dan (5) mengabaikan tanggung jawab. Sementara itu Pendapat lainnya dikemukakan oleh Muchtar Lubis (1986) menyatakan bahwa ciri negatif manusia Indonesia: (1) hipokritis alias munafik; (2) segan dan enggan bertanggung jawab; (3) berjiwa feodal; (4) masih percaya takhyul; (5) artistik; (6) memiliki watak yang lemah; (7) bukan economic animal;

Maka dari itu pendidikan karakter bangsa sangatlah diperlukan untuk memaksimalkan karakter baik bersama seluruh potensinya dan menekan karakter negatif sebagaimana pendapat ahli di atas bersama seluruh kelemahan yang terkandung di dalamnya.



III
PEMBAHASAN
2.2. Arti Penting Karakter Bangsa
1.       Pentingngya Pembentukan Karakter Bangsa
Kesadaran tentang pentingnya karakter bangsa dalam meningkatkan pembangunan di seluruh bidang ternyata semakin disadari oleh para pemangku kepentingan di Indonesia, hal ini dapat kita lihat dari semakin banyaknya pihak yang mengkaji dan mengembangkan konsep-konsep pendidikan karakter. Beberapa diantara yang mencuat adalah ESQ atau Emosional Spiritual Question yang dikembangkan oleh seorang motivator bernama Ary Ginanjar, selain itu dapat kita lihat juga dalam Undang-Undang nomor 20 Tahun 2013 tentang sistem Pendidikan nasional yang menunjukkan bahwa pemerintah memberikan perhatian besar terhadap pendidikan nasional berbasis karakter.

Kesadaran tersebut sesungguhnya sejalan dengan perkembangan paradigma pendidikan dunia dan hasil-hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kesuksesan seorang manusia tidak hanya ditentukan oleh aspek intelektualnya melainkan lebih besar dipengaruhi oleh kemampuan emosional dan spiritual seseorang.

Hal tersebut sangat masuk akal mengingat setiap manusia ataupun bangsa adalah entitas yang unik, di dalamnya terdapat keunggulan dan kelemahan yang membedakan antara satu entitas dengan entitas lainnya, Intelektual hanyalah salah satu keunggulan diantara beberapa kelemahan yang lainnya. Emosional dan spritual adalah kemampuan afektif dan fsikomotorik yang akan merespon keunggulan dan kelemahannya menjadi sebuah kunggulan kompetitif yang mampu membuatnya bersaing dengan entitas lainnya, sementara itu intelektual bersifat pasif ianya berupa keunggulan tanpa mampu untuk memberdayakannya jika tidak menggunakan keunggulan lainnya yaitu emosional dan spiritual.

Pun dengan bangsa dan negara, sebagai sebuah entitas maka kemajuannya bukan terletak pada seberapa berlimpahnya sumber daya alam dan sumber daya manusia yang dimilikinya melainkan seberapa kuat identitas dan jatidiri (karakter) masyarakatnya. Kenyataan terpampang di hadapan kita bagaimana bumi pertiwi yang memiliki berbagai keunggulan tak mampu bersaing dengan bangsa lain karena lemahnya karakter bangsa.

Lemahnya karakter bangsa ini dapat kita temukan dalam perikehidupan masyarakat kita dewasa ini diantaranya :
a.       Semakin meningkatnya konflik horizontal berlatar perbedaan suku, perbedaan agama bahkan perbedaan tempat sekolah;
b.      Terjadinya degradasi moral (seks bebas, penggunaan narkoba dan budaya hedonisme yang semakin populer);
c.       Runtuhnya kontruksi sosial masyarakat (nilai, norma sosial dan sopan santun sudah tidak memiliki kekuatan mengikat lagi);
d.      Demokrasi nasional/daerah yang tidak sehat (memaksakan kehendak dan main hakim sendiri);
Bukti-bukti di atas menunjukkan bahwa karakter bangsa Indonesia yang Pancasilais telah pudar, semangat kebhinekatunggalikaan yang selama ini menjadi ciri khas bangsa ini perlahan tapi pasti telah mudar dalam jiwa masyarakat Indonesia. Begitupun halnya dengan religiusitas bangsa yang dulu dikenal sangat tinggi mulai berganti dengan faham-faham sekuler dan hedonisme.
Pudarnya keunggulan-keunggulan kompetitif bangsa tersebut semakin memperkuat karakter negatif bangsa indonesia yang sudah ada sebelumnya sebagaimana dikemukakan oleh Koentjaraningrat (1974) yaitu (1) meremehkan mutu; (2) cenderung mencari jalan pintas (menerabas); (3) tidak percaya diri; (4) tidak berdisiplin; dan (5) mengabaikan tanggung jawab. Akhirnya kelemahan yang ditengarai telah dimiliki sejak dahulu bertambah dengan lahirnya karakter-karakter negatif yang laih kemudian. Kondisi ini tentunya semakin memperparah kondisi bangsa Indonesia saat ini.
Penyebab pudarnya karakter-karakter baik bangsa ini dapat kita analisis disebabkan oleh :
1.       Berkembangnya globalisasi tanpa disertai dengan perkembangan pranata sosial masyarakat. Globalisasi sangat disadari akan memberikan dampak negatif jika tidak disertai dengan pembangunan pranata sosial yang efektif menangkal berbagai pengaruh negatif pertukaran informasi dari bangsa lain yang tidak selaras dengan karakter bangsa.
Pranata sosial yang dimaksud adalah etika, nilai, norma dan sanksi sosial masyarakat terhadap berbagai penyimpangan norma.
2.       Kurangnya intervensi pemerintah dalam pembentukan karakter masyarakat, selama ini kebijakan pembentukan karakter yang dilaksanakan oleh pemerintah cenderung tidak berpola dan parsial, tidak berpola artinya tidak memiliki konsep yang jelas tentang arah, tujuan dan metode pelaksanaanya. Parsial karena pendidikan karakter yang diajarkan di lembaga-lembaga pendidikan tidak berjalan serasi dengan tatanan kehidupan sesungguhnya. Saya contohkan semangat gotong royong yang mencoba dikenalkan kepada siswa sekolah kenyataannya sangat sulit ditemukan di tengah-tengah masyarakat terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Surabaya.
3.       Kebijakan pengembangan karakter bangsa oleh pemerintah sering kali setengah hati mengingat pengalaman masa lalu yang sering kali mempolitisasi pembentukan karakter bangsa ini untuk kepentingan penguasa.
Arti penting karakter bangsa ini seyogyanya telah disadari oleh para pendahulu bangsa terutama pemerintahan orde baru, maka lahirlah apa yang disebut P4 (Pendidikan, Penghayatan dan Pengamalan Pancasila). Meskipun dalam tataran pelaksanaan sering kali disalahartikan tapi kebijakan pengembangan pancasila oleh pemerintah orde baru ini sesungguhnya merupakan sebuah langkah yang sangat baik.
Penerapan dalam kurikulum semata takan efektif mengingat apa yang diajarkan kepada siswa didik tidak memiliki tauladan dalam tataran kehidupan sosial yang nyata. Penerapan untuk kalangan orang tua semata lebih tidak efektif lagi mengingat generasi muda sangat rentan dengan pengaruh budaya dan karakter negatif dari luar. Oleh karena itu seyogyanya kebijakan pembentukan karakter masyarakat dilaksanakan secara komprehensif yang pembahasannya akan disajikan pada bab selanjutnya.
Lebih lanjut arti penting pembentukan karakter bangsa ini dapat kita lihat berdasarkan pendapat para tokoh dan ahli berikut ini :
·         Mahatma Gandhi  memperingatkan bahwa salah satu tujuh dosa fatal, yaitu “education without character”(pendidikan tanpa karakter);
·         Dr. Martin Luther King yang pernah berkata: “Intelligence plus character….that is the goal of true education” (Kecerdasan plus karakter….itu adalah tujuan akhir dari pendidikan sebenarnya);
·         Theodore Roosevelt yang mengatakan: “To educate a person in mind and not in morals is to educate a menace to society” (Mendidik seseorang dalam aspek kecerdasan otak dan bukan aspek moral adalah ancaman mara-bahaya kepada masyarakat);
·         Ki Hajar Dewantara menyampaikan pendapat tentang pentingnya pendidikan yang berpilar kepada Cipta, Rasa dan Karsa. Bermakna bahwa pendidikan bukan sekedar memberikan pengetahuan (knowledge) tetapi juga mengasah afeksi moral sehingga menghasilkan karya bagi kepentingan ummat manusia. (http://pks.psikologi.unair.ac.id/coretan-kami/membangun-peradaban-bangsa-dengan-pendidikan-berkarakter-moral/)
·         Muhammad SAW : Aku diutus Allah semata-mata untuk menyempurnakan ahlak (karakter).

2.    Belajar dari Khalifah Umar Bin Khatab dan Negeri Jepang
Melalui sejarah tentunya kita mengenal bagaimana peradaban Islam masa kepemimpinan Khalifah Umar Bin Khatab berkembang pesat dan menyebar begitu luas hingga penjuru dunia.  Beberapa hal yang dapat kita pelajari dari bagaimana sang murid Rosululloh ini dapat berhasil menjalankan roda pemerintahan adalah bagaimana beliau begitu mengerti arti penting karakter atau ahlak pemerintah dan masyarakatnya. Oleh karena itu dalam setiap kebijakannya beliau menekankan pendekatan ahlak sebagai bagian penting dalam menjalankan roda pemerintahan, hal ini dapat kita lihat dalam penunjukkan pejabat atau pembantu urusan dinasnya yang senantiasa memperhatikan aspek ahlak, kebiasaan sholatnya, hubungan dengan masyarakatnya  dan kemampuannya mengelola emosi. Sementara itu aspek kompetensi intelektual hanya dijadikan pertimbangan terakhir.

Selain itu beliaupun menegaskan aspek ketaladanan bagi seluruh pembantu pemerintahnya, seluruh gubernur di wilayah kekhalifahan diperintahkan untuk menjaga perilakunya, menjalani hidup dengan kesederhanaan dan mendahulukan kepentingan masyarakatnya. Jika terdapat laporan perihal perilaku dan gaya hidup pembantunya yang berlebihan maka beliau akan mengklarifikasinya dan jika terbukti benar maka beliau tak segan-segan menggantinya dengan orang lain yang lebih baik.

Konsep seperti ini adalah sebuah konsep pembangunan karakter bangsa melalui keteladanan. Hal ini penting untuk dilakukan karena kerap kali karakter baik yang diajarkan oleh orang tua maupun guru tak mendapatkan kondisi yang mendukung untuk berkembang disebabkan tidak adanya keteladanan dari lingkungan kehidupan. Keteladanan itu harus dimulai dari strata kehidupan paling tinggi dalam suatu bangsa yakni para pemimpinnya.

Setelah kita belajar dari khalifah Umar maka selanjutnya terdapat bangsa lain yang begitu kuat karakternya sehingga saat ini mampu menjadi salah satu bangsa yang maju dan diperhitungkan dalam percaturan dunia, yaitu bangsa jepang. Kita semua mengenal bagaimana karakter bangsa Jepang yang ulet, pekerja keras dan menghargai kehormatan pribadi begitu tinggi.

Pribadi jepang seperti ini adalah kepribadian khas para samurai jaman Shogun dahulu. Memang sangat menarik untuk dikaji bagimana proses transformasi melalui “restorasi meiji” dahulu merubah tatanan jepang tidak mencabut karakter positif para samurai melainkan memperkuatnya.
  
Berbeda hal dengan bangsa Indonesia dalam alam reformasi ini, reformasi yang dicanangkan sebagai sebuah upaya merubah tatanan masyarakat masa orde baru ternyata menyebabkan bangsa ini berada dalam kondisi perubahan yang ekstrim, perubahan itu ternyata menyebabkan perubahan terhadap watak dan karakter positif bangsa, sehingga watak positif tersebut tergerus dan mati sementara muncullah watak dan karakter baru yang tidak sesuai dengan watak bangsa yang sebelumnya.

Kebebasan yang berlebih dalam era reformasi ditafsirkan sebagai kebebasan yang mutlak sehingga nilai dan norma yang berlaku menjadi gamang, selain norma hukum yang masih memiliki kekuatan mengikat maka norma sosial dan norma lainnya yang selama ini berlaku di masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang feodal dan tidak memiliki kekuatan mengikat lagi.

Norma susila misalnya semakin dipandang sebagai sesuatu yang tidak penting lagi, hal ini terbukti dengan longgar kontrol sosial atau permisifnya masyarakat kita terhadap pelanggaran norma susila.  Sesuatu yang dahulu dinilai tabu dan aib tidak lagi dipandang demikian. Sesuatu yang dahulu memalukan menjadi kelumrahan dan sesuatu yang dahulu jarang terjadi menjadi kerap kali terjadi.

Inilah sebuah kondisi yang membutktikan bahwa bangsa ini tidak lagi memiliki identitas, secara sederhana dapat dikatakan bahwa Indonesia sebagai bangsa timur telah bergeser menjadi bangsa setengah timur dan setengah barat. Watak orang timur yang menjunjung norma agama, kesopanan dan kesusilaan telah hilang dan watak orang barat rasional, ilmiah dan pekerja keras belum terbentuk. Sementara itu watak yang justru hadir adalah materialisme, hedonisme dan karakter negatif lainnya.

Oleh karena itu pembentukan karakter bangsa saat ini seyogyanya berupa revitalisasi karakter bangsa yaitu mengembalikan karakter postif bangsa, menekan karakter negatif bangsa sendiri dan bangsa luar (barat) serta menanamkan watak positif bangsa barat.

2.3. Konsep Pendidikan Karakter Bangsa Indonesia dalam Konteks kekinian
Sebagaimana saya kemukakan bahwa pembentukan karakter bangsa saat ini seyogyanya bermakna revitalisasi,  mengembalikan karakter asli bangsa, menekan karakter negatif bangsa sendiri dan luar (barat) serta menanamkan karakter postif bangsa lain di dunia.
Untuk melakukan hal tersebut maka diperlukan langkah-langkah strategis pembentukan karakter bangsa diantaranya :
1.       Menganalisa permasalahan Karakter Bangsa;
2.       Menyusun Formulasi Karakter Bangsa
3.       Menyusun Kelompok Sasaran;
4.       Menetapkan Metode;
5.       Menyusun Visi, Misi dan Strategi;
6.       Penguatan Aturan dan Kelembagaan.


A.      Menganalisa Permasalahan Karakter Bangsa
Permasalahan karakter bangsa yang telah secara nyata terlihat di hadapan mata tentunya tidak akan bisa diperbaiki selama tidak dilaksanakan analisa yang cermat terhadap keberadaanya. Oleh karena itu sebelum lakukan langkah terhadap pembentukan karakter bangsa maka perlu dilakukan analisa mendalam terhadap permasalahan tersebut. Analisa dimaksud termasuk di dalamnya identifikasi masalah, analisis penyebabnya dan solusi penanganannya.

B.      Menyusun Formulasi Karakter Bangsa
a.         Dilema Pancasila
Pancasila adalah sebuah ide yang lahir berdasarkan pemikiran para founding father yang diambil dari kondisi latar belakang dan sosial budaya masyarakat Indonesia saat itu. Sebagai falsafah bangsa, Pancasila menghadapi dilema dalam tataran pelaksanaan dan pengamalannya.
Dilema pancasila tersebut diantaranya pertama ide Pancasila belum sepenuhnya dijiwai oleh seluruh masyarakat Indonesia karena konstruksi Pancasila hadir belakangan dari pada masyarakat itu sendiri, sehingga karakter pancasila belum sepenuhnya meresap di dalam jiwa masyarakat.
Dilema kedua adalah Pancasila merupakan konsep yang lahir berdasarkan pemikiran yang relatif masih muda, Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni 1945 buah pemikiran Sang Proklamator Soekarno.
Dilema ketiga adalah Pancasila merupakan sebuah konsep umum yang membutuhkan penjabaran sehingga dapat bersifat operasional.

b.         Dilema Pancasila dan pengaruhnya terhadap Pembentukan Karakter Bangsa
Dilema pertama dimana konstruksi Pancasila yang muncul belakangan dari masyarakatnya menyebabkan konsep pancasila belum membumi dan dipraktekan secara menyeluruh oleh masyarakat Indonesia.

Sebagai sebuah ide kehadiran pancasila merupakan akumulasi dari nilai, adat kebiasaan dan norma yang berlaku di dalam masyarakat. Akan tetapi kesadaran terhadap karakter kepancasilaan belum sepenuhnya mengakar dalam jiwa masyarakat Indonesia kala itu.

Masyarakat belum sepenuhnya sadar tentang karakter yang terdapat dalam sila Pancasila, hal ini dikarenakan kala itu bangsa Indonesia masih terbelakang sehingga nilai, norma dan adat yang berlaku dipandang sebagai sesuatu kenyataan yang ada tanpa sepenuhnya mengerti arti keberadaannya.
Sebagai contoh kata pamali yang merupakan salah satu nilai dalam falsafah hidup masyarakat Sunda kala itu, kerap kali diarahkan kepada sesuatu yang bersifat takhayul dan mistis bukan pada kerangka pemikiran yang logis, hal ini sama halnya dengan kata tabu.
Kondisi tersebut menyebabkan kegamangan masyarakat ketika ide modernisasi lahir, karena rendahnya pemahaman terhadap nilai dan adat yang berlaku tersebut maka keberadaannya dianggap sebagai sesuatu yang feodal dan akan menghambat modernitas. Akhirnya dengan semangat modernitas maka nilai, norma dan adat yang berlaku selama ini dianggap tidak lagi relevan dengan perkembangan jaman. Sehingga tidak mengherankan jika banyak diantara nilai dan norma yang selama ini berlaku, saat ini mati dan kehilangan kekuatan mengikatnya. Akhirnya Pancasila tidak lebih hanya sekedar slogan tidak bermakna.

Dilema kedua adalah Pancasila merupakan konsep yang lahir berdasarkan pemikiran yang relatif masih muda, hal ini berbeda dengan konsep atau karakter kstaria samurai di jepang, jika kita pandang restorasi meiji sebagai pertanda lahirnya karakter bangsa jepang yang modern maka ia telah lahir pada sekitar Tahun 1869-1870 an, sehingga wajar jika karakter samurai modern ini telah menjelma sedemikian kuatnya dalam masyarakat jepang.

Ide Pancasila yang relatif muda ini sama halnya dengan dilema pertama menyebabkan keberadaannya belum mengakar dalam seluruh masyarakat Indonesia, keberadaannya terus dipertanyakan terutama oleh sebagian besar masyarakat yang menganut ide-ide kebangsaan lain seperti liberalisme, kapitalisme dan tentunya komunisme.

Dilema ketiga keberadaan Pancasila yang bersifat umum dan membutuhkan penjabaran untuk dapat bersifat operasional. Kondisi ini menurut penulis menyebabkan terjadinya kesalahan dalam mengartikan kandungan sila-sila dalam pancasila, hilangnya budaya musyawarah mufakat dan berganti dengan pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak adalah salah satu yang menurut pandangan penulis merupakan kesalahan dalam mengartikan sila keempat Pancasila.

Pengambilan keputusan berdasarkan suara terbanyak memang dapat dikatakan demokratis akan tetapi menurut penulis itu bukanlah demokrasi pancasila, karena demokrasi pancasila akan mengedepankan musyawarah untuk mupakat.

Ketiga dilema tersebut menyebabkan pancasila belum dapat sepenuhnya diamalkan oleh masyarakat Indonesia saat ini, terlebih Lagi jika kita berharap karakter manusia Indonesia yang pancasilais adalah merupakan sebuah harapan tanpa ada tanda-tanda akan terwujud.

Seyogyanya falsafah bangsa merupakan sebuah ide yang diambil berdasarkan adat kebiasan, nilai dan norma yang berlaku pada suatu bangsa. Pancasilapun demikian hanya saja karena kesadaran masyarakat terhadap nilai, adat kebiasan dan norma yang terkandung dalam pancasila masih relatif lemah maka keberadaannya dipertanyakan terutama ketika berhadapan dengan isu perubahan seperti saat reformasi hadir. Jikapun banyak pihak menyadari kandungan yang ada dalam pancasila sebagai sesuatu yang sesuai dengan kondisi bangsa, upaya untuk mengembangkannya seringkali terbentur dengan perbedaan pandangan terhadap aspek operasional nilai sila-sila dalam pancasila.

Tanpa usaha nyata mengembangkan karakter pancasila ke dalam perikehidupan masyarakat secara praktis maka kondisi yang mungkin terjadi bahkan saat ini telah terjadi adalah Pancasila hanya sebatas ide tanpa membentuk karakter masyarakatnya.

c.          Formulasi Karakter Bangsa
Berdasarkan pemikiran tentang keberadaan pancasila sebagaimana disebutkan sebelumnya, maka sebelum berbicara lebih jauh tentang pembentukan karakter, terlebih dahulu perlu disusun sebuah formula karakter bangsa yang positif. Hal ini dikarena diantara berbagai karakter positif masyarakat indonesia terdapat karakter buruk yang perlu segera diminimalisasi atau bahkan dihilangkan. Karakter negatif tersebut sebagaimana disebut oleh Koentjaraningrat dan Muchtar Lubis.

Jika formulasi yang disepakati adalah Pancasila maka penulis memandang perlu disusun sebuah formulasi operasional atau penjabaran dari sila-sila yang ada dalam pancasila sehingga bersifat operasional dan mudah difahami.

Upaya yang sama pernah dilakukan pada masa pemerintahan orde baru yaitu dengan lahirnya 32 butir pengamalan pancasila. Hal ini menurut saya penting karena kondisi pancasila sendiri yang belum mengakar dalam jiwa dan keseharian masyarakat sehingga perlu dilakukan upaya untuk membiasakan dan mengakarkan pancasila dalam perikehidupan masyarakat Indonesia dewasa ini.

Catatan penting dalam rangka menyusun formulasi karakter bangsa ini tentunya jangan sampai formulasi yang tersusun dijadikan sebagai sebuah hukum positif yang mengikat yang akan membuatnya menjadi sebuah alat penguasa untuk membungkam rakyatnya, melainkan biarlah formulasi ini menjadi sebuah bahan ajar dan bahan refleksi bagi seluruh masyarakat Indonesia.

3.       Menyusun Kelompok sasaran dan metode yang digunakan
Kondisi kekinian menunjukkan bahwa hilangnya karakter (pancasila) bangsa saat ini bukan hanya dialami oleh satu kelompok usia atau satu kelompok generasi semata, melainkan oleh seluruh masyarakat Indonesia sehingga untuk merubah kondisi ini tidak bisa dilakukan secara parsial terhadap satu kelompok umur saja.

Oleh karena itu untuk mengefektifkan upaya pembangunan karakter ini perlu dilakukan pembagian kelompok sasaran, yaitu kelompok generasi muda dan kelompok generasi produktif (tua).

Pembagian kelompok ini penting untuk menentukan metode yang akan digunakan, setiap kelompok sasaran perlu dilakukan pendekatan yang sesuai dengan kondisi kelompok tersebut. Generasi tua dapat menggunkan metode sosialisasi atau jika perlu pelatihan-pelatihan dasar karakter, dan bagi generasi muda kita bisa menggunakan lembaga pendidikan.

Berkenaan dengan kelompok generasi muda ini, kita dapat bernafas lega dengan Undang-Undang nomor 20 Tahun 2013 tentang sistem pendidikan nasional yang mengamanatkan pendidikan berbasis karakter. Akan tetapi bagi kelompok sasaran generasi produktif (tua) hingga saat ini belum terdapat sebuah metode yang efektif.

Kesinambungan pendidikan karakter antara generasi muda dengan generasi tua perlu dilakukan mengingat pentingnya keteladanan dalam penanaman karakter ini. Jika kita hanya terfokus pada generasi muda semata maka hilangnya keteladanan dari generasi tua akan menyebabkan karakter positif yang telah diajarkan di lembaga pendidikan tidak memiliki pondasi kuat dalam tataran kehidupan nyata karena minimnya keteladanan.

Untuk menciptakan ketauladanan dan kondisi yang mendukung terhadap berkembangnya karakteristik pancasila dalam perikehidupan maka perlu diciptakan sebuah prakondisi yang memungkinkan faham dan nilai pancasila berlaku dalam peri kehidupan sosial masyarakat, upaya ini dilakukan dalam setiap aspek kehidupan sosial.

Secara operasional penciptaan pra kondisi tersebut dilakukan melalui :
a.       Media massa, kita sangat menyadari bahwa alat propaganda paling efektif dewasa ini adalah media massa oleh karena itu untuk memperluas pemahaman dan pengamalan karakter pancasila perlu dilakukan melalui media massa baik elektronik maupun cetak.
Peran media massa sangat penting untuk meningkatkan pelaksanaan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan hingga tingkat terkecil yakni keluarga. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak akan mungkin sebuah kegiatan pembinaan dilakukan hingga tingkat keluarga oleh karena satu-satunya jalan untuk memberikan pemahaman nilai pancasila hingga ke tingkat keluarga adalah melalui media massa;
b.      Keteladanan Pemerintah (pimpinan), kerap kali kita melihat tauladan negatif dilakukan oleh pemimpin bangsa ini hal tersebut secara sadar maupun tidak sadar menciptakan dampak negatif bagi perkembangan masyarakat oleh karena itu untuk menciptakan karakter masyarakat yang positif haruslah dimulai dari pemerintah itu sendiri;
c.       Menghidupkan kembali pranata sosial masyarakat, nilai, norma dan sanksi sosial yang saat ini mulai luntur perlu dihidupkan kembali hal ini bermaksud untuk menciptakan kondisi ideal dari sebuah karakter yang diinginkan untuk dapat relevan dengan kondisi perikehidupan sosial yang nyata karena tanpa ada sebuah kondisi ideal maka karakter yang telah terbangun akan mampu rusak oleh lingkungan.
Untuk hal ini penulis memberikan perhatian besar terhadap keberadaan sanksi sosial, sebagai sebuah aturan yang mengikat norma membutuhkan sebuah sanksi yang akan memaksa seluruh masyarakat melaksanakan nilai yang terkandung di dalamnya. Jika nilai dan norma tidak memiliki sanksi maka akan hilang kemampuan mengikatnya sehingga pelanggaran dan penyelewengan norma akan banyak terjadi. Sikap permisif masyarakat terhadap pelanggaran perlu ditekan dan dihilangkan.
Jika semua itu berjalan lancar maka karakter yang coba dibangun akan memiliki kemampuan untuk terus hidup karena didukung kondisi lingkungan yang ideal.
d.      Menciptakan sebuah metode penanaman nilai (karakter) melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Pendidikan formal dapat dilakukan di lembaga pendidikan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan non formal dapat dilakukan di lembaga-lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan(perusahaan) melalui diklat atau penataran singkat sebagaimana dulu pernah dicoba dan dinilai efektif pada masa orde baru.


4.       Menyusun Visi, Misi dan Strategi
Setelah permasalahan, formulasi dan kelompok sasaran ditemukan maka langkah selanjutnya adalah menyusun rencana strategis yakni menyusun visi, menjabarkannya ke dalam misi dan mewujdkannya dengan strategi.

Hal ini penting mengingat kondisi karakter bangsa yang semakin rusak maka diperlukan langkah komprehensif dengan tujuan jelas untuk terbentuknya karakter bangsa (pancasila) yang unggul. Tanpa adanya rencana strategis maka upaya kita tidak akan terarah sehingga tujuan yang ingin dicapaipun tak akan mampu terwujud.

5.       Memperkuat Aturan dan Kelembagaan
Penguatan aturan dan kelembagaan seyogyanya dapat dirumuskan dalam rencana strategis yang telah dibuat, akan tetapi untuk lebih mengelaborasi penguatan aturan maka penulis menjabarkannya secara terpisah.
Penguatan aturan dimaksud diantaranya berkenaan dengan  pendidikan berbasis karakter bagi setiap kelompok sasaran. Sementara berkenaan dengan penguatan kelembagaan tentunya perlu ditentukan sebuah lembaga khusus baik yang telah ada ataupun yang akan dibentuk yang bertanggung jawab penuh terhadap pembentukan karakter bangsa.

Penguatan yang dimaksud adalah meliputi penguatan struktur, penguatan sumber daya manusia dan perangkat serta penguatan dari sisi anggaran.

 
PENUTUP
1.       Kesimpulan
Kemajuan suatu bangsa dan negara sangat ditentukan oleh kekuatan karakter bangsa yang tercermin dalam perikehidupan sosial masyarakatnya. Karakter bangsa itu tercermin dalam falsafah bangsa sebagai dasar ideologi sebuah negara.
Selanjutnya efektifitas ideologi bangsa dalam mengarahkan kehidupan sosial masyarakat sangat dipengaruhi oleh seberapa besar ideologi tersebut mengakar dalam kejiwaan individu masyarakatnya.
Pancasila sebagai ideologi bangsa faktanya merupakan ide yang relatif masih muda dan belum mengakar dalam perikehidupan masyarakat Indonesia. Oleh karena untuk memperkuat karakter pancasila dalam perikehidupan masyarakat indonesia perlu dilakukan sebuah upaya revitalisasi pancasila bagi kehidupan bangsa Indonesia di masa sekarang ini.
Revitalisasi dimaksud adalah melalui pengenalan dan penanaman karakter bangsa Indonesia yang asli (pancasila), menekan karakter negatif bangsa Indonesia dan bangsa luar serta menanamkan karakter positif bangsa luar sehingga akan tercipta sebuah karakter bangsa yang unggul.
Langkah untuk melakukan revitalisasi dimaksud harus dilaksanakan secara komprehensif dan sistematis melalui langkah-langkah:
1.        Menganalisa permasalahan Karakter Bangsa;
2.       Menyusun Formulasi Karakter Bangsa
3.       Menyusun Kelompok Sasaran;
4.       Menetapkan Metode;
5.       Menyusun Visi, Misi dan Strategi;
6.       Penguatan Aturan dan Kelembagaan.
Catatan penting dalam melakukan revitalisasi tersebut adalah kita harus belajar dari kesalahan di masa lalu yang mempergunakan pancasila sebagai alat penguasa membungkam masyarakat. Jika hal ini terjadi maka dapat dipastikan pembentukan karakter yang diinginkan tidak akan tercapai sebagaimana mestinya. Oleh karena itu konsep penjabaran pancasila ke dalam sebuah konsep operasional harus disepakati bersama dan tidak merupakan hukum positif yang mengikat, melainkan hanya digunakan sebagai acuan pembelajaran bagi pembentukan karakter bangsa.
Perlu disadari bahwa karakter bangsa dan kondisi lingkungan sesungguhnya saling mempengaruhi, karakter akan mempu berubah saat kondisi lingkungan menghendaki perubahan pun sebaliknya karakter individu akan mampu mempengaruhi kondisi lingkungan melalui pemikiran sehingga untuk dapat terciptanya karakter yang diinginkan perlu dilakukan intervensi terhadap mindset(pola pikir masyarakat) sekaligus kondisi lingkungan.
2.       Saran
Mengingat pentingnya  sebuah karakter bagi kemajuan bangsa maka perlu dilakukan langkah-langkah strategis menanamkan karakteristik positif bangsa. Pancasila sebagai karakter bangsa perlu ditanamkan secara komprehensif dan sistematik melalui langkah-langkah yang telah disebutkan sebelumnya, lebih lanjut untuk dapat melaksanakan seluruh upaya tersebut perlu diciptakan pra kondisi sehingga karakter yang akan diterapkan mampu hidup dan relevan dengan kondisi kekinian.
Penciptaan pra kondisi tersebut dilakukan melalui :
e.       Media massa, kita sangat menyadari bahwa alat propaganda paling efektif dewasa ini adalah media massa oleh karena itu untuk memperluas pemahaman dan pengamalan karakter pancasila perlu dilakukan melalui media massa baik elektronik maupun cetak.
Peran media massa sangat penting untuk meningkatkan pelaksanaan nilai-nilai pancasila dalam kehidupan hingga tingkat terkecil yakni keluarga. Sebagaimana kita ketahui bahwa tidak akan mungkin sebuah kegiatan pembinaan dilakukan hingga tingkat keluarga oleh karena satu-satunya jalan untuk memberikan pemahaman nilai pancasila hingga ke tingkat keluarga adalah melalui media massa;
f.        Keteladanan Pemerintah (pimpinan), kerap kali kita melihat tauladan negatif dilakukan oleh pemimpin bangsa ini hal tersebut secara sadar maupun tidak sadar menciptakan dampak negatif bagi perkembangan masyarakat oleh karena itu untuk menciptakan karakter masyarakat yang positif haruslah dimulai dari pemerintah itu sendiri;
g.       Menghidupkan kembali pranata sosial masyarakat, nilai, norma dan sanksi sosial yang saat ini mulai luntur perlu dihidupkan kembali hal ini bermaksud untuk menciptakan kondisi ideal dari sebuah karakter yang diinginkan untuk dapat relevan dengan kondisi perikehidupan sosial yang nyata karena tanpa ada sebuah kondisi ideal maka karakter yang telah terbangun akan mampu rusak oleh lingkungan.
Untuk hal ini penulis memberikan perhatian besar terhadap keberadaan sanksi sosial, sebagai sebuah aturan yang mengikat norma membutuhkan sebuah sanksi yang akan memaksa seluruh masyarakat melaksanakan nilai yang terkandung di dalamnya. Jika nilai dan norma tidak memiliki sanksi maka akan hilang kemampuan mengikatnya sehingga pelanggaran dan penyelewengan norma akan banyak terjadi. Sikap permisif masyarakat terhadap pelanggaran perlu ditekan dan dihilangkan.
Jika semua itu berjalan lancar maka karakter yang coba dibangun akan memiliki kemampuan untuk terus hidup karena didukung kondisi lingkungan yang ideal.
h.      Menciptakan sebuah metode penanaman nilai (karakter) melalui pendidikan baik formal maupun non formal. Pendidikan formal dapat dilakukan di lembaga pendidikan sejak sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Pendidikan non formal dapat dilakukan di lembaga-lembaga pemerintahan maupun non pemerintahan(perusahaan) melalui diklat atau penataran singkat sebagaimana dulu pernah dicoba dan dinilai efektif pada masa orde baru.




DAFTAR PUSTAKA
1.       Mu’in Fatchul, 2011, Pendidikan Karakter (konstruksi Teoritik dan Praktek) Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA.
2.       Khalid, Muh Khalid. 2006. Mengenal Pola Kepemimpinan Umat dan Karakteristik Khalifah Rasulullah, diterjemahkan oleh Muhyadin Syaf dkk, Bandung. Penerbit Diponegoro;
3.       Dokumen Kurikulum 2013, 2012 Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan;
4.       Ahmad Ainun Nadjib, 2012, Membangun Karakter Bangsa Melalui Dunia Pendidikan (http://najibipnu.blogspot.com/2012/07/membangun-karakter-bangsa-melalui-dunia.html) diakses tanggal 19 Pebruari 2014.
5.       Rifa Rofifah, 2013, Memperbarui Kurikulum Berbasis Karakter (http://berita.upi.edu/2013/04/03/memperbarui-kurikulum-berbasis-karakter) diakses Tanggal 19 Pebruari 2014;
6.       Membangun Peradaban Bangsa dengan Pendidikan Berkarakter (http://pks.psikologi.unair.ac.id/coretan-kami/membangun-peradaban-bangsa-dengan-pendidikan-berkarakter-moral/)diakses tanggal 19 Pebruari 2014;
8.       Pentingnya Pendidikan Karakter untuk Generasi Muda di Era Globalisasi (http://miftarohmah.blogspot.com) (diakses tanggal 19 Pebruari 2014);

No comments:

SEBUAH BUKU TENTANG PEGAWAI NEGERI

..

terpopuler

PNS

ABDI NEGARA

ABDI MASYARAKAT