Tuesday, February 4, 2014

NEGARA DALAM PEMIKIRAN PLATO DAN ARISTOTELES



Sahabat sebelum saya membahas tentang pemikiran beberapa pilsuf Yunani tentang negara sebagaimana judul di atas ada baiknya Saya menjelaskan maksud penulisan artikel Saya kali ini. Sebagaimana sahabat pembaca maklumi bahwa perkembangan dunia saat ini, entah karena digerakan atau secara alamiah sepertinya tergiring kedalam sebuah monologi demokrasi sebagai sebuah kebenaran.

Pandangan masyarakat umum dewasa ini terutama di negara kita tercinta Indonesia, Demokrasi dicap sebagai sebuah sistem yang sepenuhnya benar yakni sebuah sistem yang akan mampu menyelesaikan permasalahan bangsa. 

Akan tetapi benarkah itu bahwa Demokrasi akan menyelesaikan permasalahan Bangsa?


Saya kira saya sepakat bahwa demokrasi adalah sistem paling manusiawi yang akan dapat diterima oleh semua kalangan masyarakat.

Akan tetapi demokrasi sendiri adalah sebuah ide, saya tekankan hanya sebuah ide bukanlah ayat suci atau kitab yang diturunkan Tuhan, sehingga keberadaan demokrasi itu sendiri bukanlah sebuah konsep baku yang dapat diterima dan dapat berlaku bagi seluruh kondisi negara.

Inilah yang selama ini menjadi permasalahan, demokrasi sebagai sebuah ide tentunya tidak akan bisa diterapkan secara “murni” (meskipun istilah murni itu sesungguhnya tidak ada) atau sama antara suatu negara dengan negara lainnya. Indonesia sebagai sebuah negara timur dengan corak agama yang begitu kuat Saya kira tidak tepat jika kita mencoba menerapkan demokrasi ala barat yang cenderung sekuler. Pun dengan budaya dan tata kramanya yang luhur, kebebasan ala eropa tentunya tidak dapat serta merta diterima sebagai nilai-nilai kebebasan yang mutlak di bumi pertiwi ini.

Sebagai sebuah ide, demokrasi yang saat ini mampu mengantarkan negara eropa dan amerika (barat) ke atas puncak peradabannya adalah merupakan konsep yang disesuaikan dari demokrasi ala Athena yang berkembang di Yunani Kuno sekitar abad ke V masehi. Budaya eropa yang serba bebas memang memungkinkan untuk berkembangnya faham demokrasi tersebut.

Terus apakah Indonesia yang bermartabat luhur akan serta merta menelan mentah-mentah konsep tersebut?

Inilah yang ingin saya sampaikan sahabat, sebagai sebuah ide maka untuk dapat mengunyah dan menelan secara perlahan konsep demokrasi haruslah ada penyesuaian dengan kondisi pertiwi yang begitu agung. Untuk terciptanya hal tersebut perlu kiranya kita mengenal konsep kenegaraan Bangsa Yunani Kuno sebagai cikal bakal demokrasi saat ini.

Anda setuju sahabat?

Jika setuju mari kita mulai.

Sahabat berbicara tentang negara tentunya tidak “afdol” jika kita tidak mengupas pandangan pilsuf Yunani Kuno terkenal Plato dan Aristoteles, hal ini dikarenakan keberadaan negara, sistem dan struktur sosial negara yang berkembang di dunia saat ini lebih banyak dipengaruhi oleh pandangan mereka berdua (Plato dan Aristoteles). Sejarah menunjukkan bahwa faham-faham kenegaraan yang saat ini ada baik demokrasi maupun sosialis lahir dari buah pemikiran kedua pilsuf terkenal tersebut.

Rasionalisme, kebebasan dan hak milik individu sebagai nilai dasar demokrasi adalah nilai-nilai yang sejak dulu dikemukakan oleh Socrates dan Aristoteles. Pun dengan kebersamaan dan penghapusan hak individu sebagai nilai dasar dalam sosialisme modern adalah merupakan sebagian gagasan yang dikemukakan oleh Plato pada sekitar abad ke V silam.

Jadi diakui maupun tidak peradaban yang saat ini hadir di depan mata kita semua adalah merupakan hasil dari pengaruh beberapa peradaban terdahulu terutama peradaban Yunani Kuno dengan para pemikirnya yang diantaranya adalah Plato dan Aristoteles.

1.         Pandangan Plato tentang Negara

Plato adalah salah seorang murid setia Socrates, Karya-karya terkenal Plato diantaranya Dialogue (Dialog), Republic (Republik) Statesman (Negarawan) dan Apologia (Pembelaan).

Sebagai seorang murid reputasi Plato jauh melebih gurunya Socrates, hal ini disebabkan pemikiran-pemikiran Socrates dituliskan pertama kali oleh Plato. Sebagai seorang pemikir Socrates tidak terbiasa untuk menuliskan pemikirannya adalah Plato yang memulainya setelah kematian sang guru.

Baik Plato maupun Aristoteles adalah anak peradaban yunani, keduanya dibesarkan dalam peradaban Athena yang telah runtuh oleh Sparta dalam perang Pelopponesis,  Kekalahan Athena atas Sparta pada perang tersebut memberikan pengaruh besar terhadap pemikiran-pemikiran Plato tentang negara dan warga negara serta hubungan diantara keduanya.

Bagaimana Pandangan Plato tentang Negara ?
Plato berpandangan bahwa kemunculan sebuah negara dikarenakan adanya hubungan timbal balik dan rasa saling membutuhkan antara sesama manusia (zoon politicon). Perasaan saling membutuhkan tersebut menyebabkan manusia membutuhkan aturan dan lembaga yang mengawasi terpenuhinya kebutuhan tersebut.
Berkenaan dengan Negara Ideal Plato Memandang bahwa sebuah negara ideal adalah negara yang menganut prinsip kebajikan (virtue), kebajikan sejalan dengan pandangan Socrates adalah sebuah istilah atau frase terhadap pengetahuan, sehingga bagi plato kebajikan adalah ilmu pengetahuan. Atas dasar inilah bagi Plato sebuah negara wajib memiliki lembaga pendidikan.
Terhadap Sistem Pamerintahan Plato dikenal sebagai pribadi yang  anti terhadap demokrasi. hal ini dapat terlihat diantaranya dalam pandangannya terhadap kebebasan dan hak kepemilikan individu. Bagi Plato hak individu telah terbukti menimbulkan konfrontasi diantara warga negara Athena saat itu. Hak milik individu telah meningkatkan kesenjangan dan indivdualisme masyarakat yang berujung pada kerapuhan Athena terhadap serangan musuh-mushnya.
Berkenaan dengan kebebasan, Plato melihatnya sebagai sebuah ancaman terhadap keberadaan negara dan tujuannya. Selama periode demokrasi Plato melihat bagaimana atas nama kebebasan sebuah demokrasi berubah menjadi negara tirani dan selanjutnya menjadi negara oligarki. Oleh karena itulah baginya negara wajib mengontrol segala perikehidupan warga negaranya.
Pandangan tersebut adalah sebuah pemikiran yang bisa kita sebut sebagai sosialisme primitif, bagi Plato setiap individu masyarakat tidak diperkenankan memiliki hak atas sesuatu baik itu barang pribadi maupun keluarga. Seluruh warga negara adalah milik negara.
Pandangan tersebut sesungguhnya merupakan kritik sosial terhadap kondisi negara Athena Pasca kekalahan dari Sparta. Menurutnya kekalahan Athena dari Sparta disebabkan oleh kondisi internal Athena seiring berkembangnya demokrasi di negara tersebut. Hak milik individu menyebabkan kesenjangan antara kaya-miskin, bangsawan-rakyat jelata serta berperan besar terhadap terjadinya dekadensi moral dan kedisiplinan masyarakatnya.
Sementara kebebasan menurutnya hanya akan membawa negara ke dalam kehancuran. Kebebasan sering kali dijadikan alasan terhadap segala tindakan kesewenangan penguasa terhadap rakyatnya, kebebasan pulalah yang menyebabkan rakyat dapat dengan mudah tergerak dalam konfrontasi karena merasa memiliki kebebasan melakukan apapun.
Berdasarkan beberapa pandangan tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa Negara ideal menurut Plato adalah negara dengan sistem pemerintahan sosialis dengan menggunakan prinsip-prinsip kebajikan di dalamnya.
Kenyataan tersebut tentunya memberikan sudut pandang berbeda tentang keberadaan demokrasi itu sendiri, peradaban yunani terutama Athena yang selama ini kita pikir sebagai ibu dari demokrasi sesungguhnya terdapat kenyataan miris dalam perjalanannya. Kekalahan dari Sparta dan kesenjangan sosial yang terjadi kala itu adalah sesuatu yang saat ini kita kenal dengan “anomali demokrasi”.
Sebagai sebuah ide seperti yang saya sampaikan sebelumnya terdapat sisi baik dan sisi buruk di dalamnya. Kebebasan yang berlebihan dan sikap indvidualisme serta hedonisme masyarakat adalah beberapa dampak negatif dari sebuah sistem demokrasi jika kita tidak dapat menyikapinya secara arif.
Pemikiran Plato sendiri adalah merupakan cikal bakal faham sosialisme dan komunisme yang saat ini dianut oleh beberapa negara di dunia.
2.       Pemikiran Aristoteles tentang Negara
Sebagai sebuah pemikir Aristoteles besar dan mendapatkan penggemblengan dari gurunya Plato. Meskipun murid dari seorang Plato akan tetapi pemikiran-pemikiran Aristoteles sangat berbeda dengan dasar-dasar pemikiran Plato.
Aristoreles adalah seorang pemikir yang meletakkan dasar dari terbentuknya metodologi filsafat yang kemudian berkembang menjadi metodologi ilmu pengetahuan. Pendekatan filsafat yang diusungnya adalah dengan metode induktif yakni bertitik tolak dari fakta-fakta nyata atau empiris, oleh karena itulah Aristoteles dikenal sebagai pemikir politik empiris-realis.
Diantara karya-karyanya yang monumental adalah politics. The Athenian Constitution. Dalam karyanya tersebut Aristoteles membahas tentang dasar-dasar tata negara mulai dari asal mula negara, negara ideal, warga negara ideal, pembagian kekuasaan, keadilan dan kedaulatan, penguasa idealcatatan penelitian tentang konstitusi, sumber-sumber perubahan konstitusi dan analisa terhadap instabilitas negara, revolusi kaum miskin dan uraian tentang cara-cara memelihara stabilitas negara.
Asal usul negara menurut Aristoteles tidak terlepas dari watak politik manusia (zoon politicon), negara dibutuhkan sebagai sarana aktualisasi watak berpolitik manusia.  Negara dalam pandangan pilsuf ini dianalogikan sebagai sebuah organisme yang akan lahir, tumbuh berkembang dan mati atau hancur. Komponen-komponen negara adalah desa-desa yang terdiri dari keluarga-keluarga dan negara sebagai unit persekutuan tertinggi.
Tujuan negara adalah untuk mensejahterakan rakyatnya bukan individu-individu tertentu, sehingga menurutnya Negara yang baik adalah negara yang dapat mewujudkan tujuan dan cita-citanya,  sementara negara yang buruk adalah negara yang tidak dapat mewujudkan tujuan dan cita-cita.
Lebih lanjut Aristoteles membagi bentuk negara kedalam tiga bentuk yakni pertama Monarki yaitu sebuah bentuk negara dimana kekuasaan tertumpu pada satu orang sebagai pemegang kekuasaan penuh. Bentuk penyimpangan dari Monarki adalah tirani dimana kekuasaan dijalankan oleh seorang untuk kepentingan pribadi bukan masyarakatnya.
Kedua adalah bentuk negara aristokrasi yakni bentuk negara dengan kekuasaan yang terletak di tangan beberapa orang dengan tujuan baik demi kepentingan umum, bentuk penyimpangan dari aristokrasi adalah oligarkhi yakni negara yang dikuasai oleh segelintir orang dengan tujuan kesejahteraan dan kebaikan kelompoknya bukan masyarakat umum.
Ketiga adalah bentuk negara politea dimana kekuasaan dan kedaulatan berada di tangan rakyat, pemerintahan dilaksanakan oleh lembaga yang diberikan mandat oleh rakyat. Tujuan bentuk negara ini adalah demi kepentingan semua masyarakat. Bentuk penyimpangan dari bentuk negara ini adalah demokrasi dimana negara dipegang oleh banyak orang (miskin, kurang terdidik) dan bertujuan demi kepentingan mereka.
Dalam kacamata Aristoteles demokrasi adalah penyimpangan terhadap kedaulatan rakyat, hal ini terjadi karena semua orang merasa memiliki kedaulatan mengatur negara, terlebih jika kondisi masyarakat tersebut miskin dan terbelakang kondisi tersebut hanya akan menimbulkan penyimpangan dalam pelaksanaan tugas negara dan pemerintah.
Diantara ketiga bentuk negara tersebut secara realistis Aristoteles menyadari bahwa bentuk negara yang mungkin terwujud adalah demokrasi atau politea (polis). Meskipun begitu filsuf Yunani Kuno ini tidak melihatnya sebagai sebuah bentuk negara yang ideal. Bentuk Negara ideal bagi Aristoteles adalah Monarkhi yang dipimpin oleh seorang filsuf arif dan bijaksana. Pandangan politea atau demokrasi sebagai bentuk negara yang mungkin terwujud adalah merupakan pandangan realistis semata bukan pandangan idealisme.
Berdasarkan pandangan Aristoteles tentang bentuk negara tersebut semoga sahabat mendapat perubahan cara pandang terhadap keberadaan demokrasi dewasa ini terutama di negeri tercinta Indonesia.
Pandangan demokrasi ala barat sebagai kiblat kita selama ini tentunya harus sedikit kita rubah, bahkan jika kita melihat istilah demokrasi yang dikemukakan oleh Aristoteles terlihat konotasi negatif di dalamnya. Demokrasi dalam istilah dia adalah sebuah penyimpangan dari konsep Politea (polis) dimana kedaulatan rakyat dijalankan oleh orang banyak yang tidak terdidik dan miskin sehingga kekuasaan rakyat dijalankan hanya untuk kepentingan mereka.
Tentunya istilah demokrasi saat ini tidak sama dengan istilah demokrasi menurut Aristoteles, demokrasi yang kita kenal saat ini adalah bentuk negara yang berdasarkan kedaulatan rakyat dengan bertujuan mewujudkan kesejahteraan bersama (berbeda dengan definisi Aristoteles). Akan tetapi pandangan tentang kondisi rakyat dalam sebuah negara demokrasi tersebut tidak bisa tidak, sangat relevan dengan pandangan Aristoteles, hal ini akan menentukan apakah demokrasi akan menuju kepada pencapaian tujuan bersama (politea) atau justru hanya untuk kepentingan segelintir orang.

Daftar Pustaka
Suhelmi, Ahmad. Pemikiran Politik Barat, Gramedia Pustaka Utama. 2004

No comments:

SEBUAH BUKU TENTANG PEGAWAI NEGERI

..

terpopuler

PNS

ABDI NEGARA

ABDI MASYARAKAT