Tuesday, November 24, 2015

Mengembalikan Proses yang Hilang dalam Sistem Pendidikan Kita

Untuk kesekian kalinya sebuah rekaman video amatir yang mempertontonkan kekerasan pada institusi pendidikan paling dasar di Indonesia beredar secara luas melalui media sosial. Tak ayal tontonan yang lebih mirip acara gulat kegemaran anak sulung Saya itu, menarik perhatian dari berbagai kalangan di tanah air.

Memilukan memang, setelah berbagai kebijakan revolusioner pemerintah untuk memperbaiki sektor pendidikan kita dengan pengalokasian 20% APBN di sektor pendidikan, perbaikan sarana pra sarana pendidikan dan peningkatan mutu serta kesejahteraan guru. Hasil yang didapat adalah perubahan perilaku generasi muda yang revolusioner pula.

Entah apa yang terjadi dengan anak-anak kita hari ini, setelah semua keprihatinan proses pendidikan masa lalu seperti perjalanan di pematang sawah menuju sekolah, wc sekolah yang tak bisa ditutup pintunya, buku-buku kucel dan berdebu, mengerjakan pr dibawah cahaya petromak tergantikan dengan semua kenyamanan fasiltas pendidikan  yang telah kita bangun selama ini, yang kita lahirkan justru adalah anak-anak bermental instan dan berkarakter tak jelas.

Setelah tidak ada lagi guru Oemar Bakrie yang hidup nestapa itu yang terlahir adalah generasi muda dengan sikap keras dan tidak menghargai sesamanya.

Ada yang salah dengan sistem pendidikan kita, dan lebih jauh lagi ada yang salah dengan pemikiran kita.

Kita yang selama ini berfikir bahwa keprihatinan kondisi pendidikan masa lalu sebagai masalah yang harus diperbaiki mungkin perlu merevisi pemikiran kita. Ada proses pembelajaran diluar kelas yang dahulu ditawarkan lebih dari pada yang kita miliki hari ini.

Perjalanan menuju sekolah dengan berjalan kaki melalui pematang sawah sesungguhnya merupakan proses pembelajaran yang kita lewatkan. Terdapat sisi solidaritas yang diajarkan karena berangkat sekolah melalui pematang sawah biasanya dilakukan secara berkelompok. Ada momen komunikasi yang terjalin disana. Terutama saat musim penghujan tiba saat sepatu kita dipenuhi tanah basah yang lengket, sehingga kita singgah di rumah salah satu teman dan membersihkannya (sebuah komen kebersamaan yang berharga).

Saat kita Mengerjakan pr dibawah cahaya petromak, itu juga merupakan proses pembelajaran yang kita lupakan, karena dalam kondisi itu kita diajarkan tentang kerja keras dan pengorbanan untuk sesuatu yang berharga yaitu pengetahuan. Sesuatu yang tidak ditawarkan oleh google dan Yahoo.

Pun dengan keprihatinan guru Oemar Bakri , ada sisi dedikasi dan pengabdian yang seharusnya dapat diteeladani oleh anak-anak kita. Sebuah aspek yang menjadikan guru begitu disegani dan berpengaruh pada masa lalu. Kondisi yang tidak hadir saat ini.

Intinya dalam proses-proses minus kenyamanan itu kita mengajarkan kepada anak-anak kita arti dari penghargaan pada sesama, kerja keras dan pengabdian. Kita telah membangun aspek kognitif dalam setiap ketidaknyamanan yang kita hadapi zaman dulu itu. Satu sisi yang tidak disediakan dalam sistem pendidikan yang kita miliki saat ini.

Lalu perlukah kita mengembalikan kondisi masa lalu itu ? Perlukah kita melarang penggunaan angkot atau sepeda motor pribadi setiap kali kita mengantarkan anak-anak kita ke sekolah? Atau perlukah kita melarang penggunaan listrik setiap kali anak-anak kita mengerjakan pr-nya? Atai lebih jauh lagi perlukah kita mengembalikan kondisi guru Oemar Bakri dan menarik kembali pemberian tunjangan sertifikasi?

Saya kira tidak! Tidak perlu seekstrim itu kali.

Yang perlu kita pikirkan adalah melakukan replacemen, yakni menggantikan momen-momen pembelajaran yang hilang tersebut dengan momen lain yang
Serupa melalui  sistem pendidikan yang baru itu.

Bentuknya apa? Nah itulah mungkin yang perlu kita pikirkan bersama.

Tapi kalo boleh Saya sedikit mengkritisi kesalahan sistem pendidikan kita saat ini adalah bahwa ia terlalu IQ oriented. Intelektualitas yang diindikasikan dengan nilai akademik terlalu dijadikan sebagai tolok ukur keberhasilan pendidikan.

Bahkan saat ini kita begitu bangga melihat anak-anak kita yang mampu berfikir dan memiliki keahlian yang tidak kita miliki saat kita seusia mereka. Kondisi yang mereka dapatkan melalui jam belajar yang lebih lama dari kita dulu dan jam main yang lebih sedikit dari kita dulu.

Usia anak adalah waktunya bermain maka seyogyanya mereka mendapatkan itu. Bermain adalah juga pembelajaran yang harus disediakan oleh sistem baru pendidikan kita itu. Kembali karena pendidikan bukan hanya afektif semata tapi juga kognitif dan psikomotori. Dua aspek terakhir hanyalah dapat diberikan di luar kelas melalui permainan, tidak di dalam kelas dan membaca buku.

Wallohualam bissawaf.

No comments:

SEBUAH BUKU TENTANG PEGAWAI NEGERI

..

terpopuler

PNS

ABDI NEGARA

ABDI MASYARAKAT